TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini sejarah berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) hingga pengertian mengenai Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia.
Peringatan Hari ulang tahun KORPRI dirayakan setiap satu tahun sekali, yaitu pada tanggal 29 November.
Mengutip dpr.go.id, tema HUT KORPRI ke-50 hari ini 29 November 2021 adalah ASN Bersatu, KORPRI tangguh dan Indonesia tumbuh.
Baca juga: 15 Link Twibbon HUT KORPRI 29 November 2021, Tema ASN Bersatu, KORPRI Tangguh dan Indonesia Tumbuh
Mengutip dari laman resmi Sekretariat Jendral MPR RI, Korps Pegawai Republik Indonesia atau disingkat KORPRI adalah organisasi di Indonesia yang anggotanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, pegawai BUMN, BUMD serta anak perusahaan.
Sedangkan perangkat Pemerintah Desa Tidak menjadi anggota Korpri setelah memiliki Organisasi Profesi yang bernama PPDI atau Persatuan Perangkat Desa Indonesia.
Meski demikian, KORPRI sering kali dikaitkan dengan Pegawai Negeri Sipil.
Kedudukan dan kegiatan KORPRI tak terlepas dari kedinasan.
KORPRI didirikan pada tanggal 29 November 1971 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971, yang merupakan wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia.
Selama Orde Baru, KORPRI dijadikan alat kekuasaan untuk melindungi pemerintah yang berkuasa waktu itu.
Namun sejak era reformasi, KORPRI berubah menjadi organisasi yang netral, tidak berpihak terhadap partai politik tertentu.
Sejarah berdirinya KORPRI
Berikut ini sejarah berdirinya KORPRI menurut laman resmi Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Sekretariat Jendral DPR RI.
Dahulu pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda yang berasal dari kaum bumi putera.
Kedudukan pegawai merupakan pegawai kasar atau kelas bawah, karena pengadaannya didasarkan atas kebutuhan penjajah semata.
Pada saat beralihnya kekuasaan Belanda kepada Jepang, secara otomatis seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok besar.
Pertama Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI.
Kedua Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator); dan
Ketiga, pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).
Baca juga: 15 Link Twibbon HUT KORPRI 2021, Tema ASN Bersatu, KORPRI Tangguh dan Indonesia Tumbuh
Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, seluruh pegawai RI, pegawai RI non Kolaborator, dan pegawai pemerintah Belanda dijadikan Pegawai RI Serikat.
Era RIS, atau yang lebih dikenal dengan era pemerintahan parlementer diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet dan sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai.
Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri, sehingga warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu.
Pendominasian partai dalam pemerintahan terbukti mengganggu pelayanan publik, PNS yang seharusnya berfungsi melayani masyarakat (publik) dan negara menjadi alat politik partai.
PNS pun menjadi terkotak-kotak dan prinsip penilaian prestasi atau karir pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan.
Kenaikan pangkat PNS misalnya dimungkinkan karena adanya loyalitas kepada partai atau pimpinan Departemennya.
Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai asal dan kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan adanya Dekrit Presiden ini, sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.
Akan tetapi dalam praktek kekuasaan, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangatlah besar.
Era ini lebih dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan yang diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa.
Melalui Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 1961 ditetapkan bahwa Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik (pasal 10 ayat 3).
Ketentuan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya, tetapi disayangkan bahwa, PP yang diharapkan akan muncul ternyata tidak kunjung datang.
Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S.
Pegawai pemerintah yang awalnya banyak terjebak dan mendukung Partai Komunis, pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang KORPRI.
Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, KORPRI “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2).
Baca juga: Ketua Umum Korpri Usul Eselon I dan II Daerah Jadi Aset Nasional di Revisi UU ASN
Tujuan Pembentukan KORPRI
Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI.
Akan tetapi KORPRI kembali menjadi alat politik, UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi KORPRI dalam memperkuat barisan partai.
Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional KORPRI, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.
KORPRI bersifat netral
Memasuki Era reformasi, muncullah keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR.
Pada akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa KORPRI harus netral secara politik.
Setelah Reformasi, KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik, para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad KORPRI untuk senantiasa netral dan berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme.
Selain itu senantiasa berpegang teguh pada Panca Prasetya KORPRI PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin menjadi anggota Parpol.
Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini, membuat anggota KORPRI tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun.
KORPRI hanya bertekad berjuang untuk menyukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.
Mengenal Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)
Dikutip dari laman resmi pemerintah Bone, Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia disebut juga sebagai sumpah/janji pegawai negri sipil yang bertujuan agar dapat menciptakan sosok PNS yang profesional, jujur, bersih dari segala korupsi, kolusi, nepotisme, berjiwa sosial, dan sebagainya.
Panca Prasetya Koprs Pegawai Republik Indonesia, antara lain yakni:
Kami Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjanji:
1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara,serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara;
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan;
4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia ;
5. Menegakkan kejujuran, keadilan, dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme
(Tribunnews.com/Kristina Wulandari)
Baca juga artikel lainnya terkait KORPRI