Lembaga ini disebutnya dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Ada yang dibangun untuk kalangan menengah ke atas, khusus perempuan hingga untuk yatim piatu dan golongan kurang mampu.
Jenjang pendidikan yang ditawarkan mulai dari tingkat penitipan anak, TK, SD, SMP, SMA dan D3.
Mereka tersebar mulai di wilayah Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Ambon, NTB dan Bima.
Melalui jalur pendidikan inilah, kata Noor, salah satu tokoh JI yakni ZA terekrut.
Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas dan santun, ZA mendapatkan beasiswa S1 di Madinah, S2 dan S3 di Mesir.
Bisa dikatakan ZA adalah kader JI pilihan dalam dunia pendidikan karena tidak dikirim ke Afghanistan untuk pelatihan militer seperti kader satu angkatan dengannya.
"Dengan kecerdasan akademiknya, ZA diharapkan mampu memoles JI agar bisa diterima masyarakat secara luas.
Strategi inilah yang disebut dengan 'Tamkin', istilah Bahasa Arab yang berarti 'penguasaan wilayah' atau bisa juga 'penguasaan pengaruh' dalam sebuah pranata sosial, politik, ekonomi dan bahkan kebudayaan," katanya.
Pada titik inilah masyarakat terpana dengan pola gerak JI yang mempunyai dua wajah yang saling berlawanan.
Wajah pertama adalah ‘dakwah’.
Anggota JI dalam wajah ini sangat mahir merangkul masyarakat secara luas. Wajah kedua adalah ‘jihad’.
Anggota dalam wajah ini berusaha membela umat ketika mereka tertindas di wilayah-wilayah konflik di tingkat nasional seperti Ambon dan Poso atau di tingkat internasional seperti di Afghanistan, Moro, Myanmar, Suriah dan Irak," pungkasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)