TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Junior Manager Divisi Pertanahan dan Hukum Perumda Pembangunan Sarana Jaya, I Gede Aldi Pradana sebagai saksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi tanah di Munjul, pada Kamis (9/12/2021).
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu, Aldi mengaku proses pengadaan tanah di Munjul untuk program hunian dengan down payment (DP) Rp 0, dilakukan dalam waktu yang singkat alias mendadak.
Rangkaian pembelian hingga perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) juga kata dia, dilakukan dalam kurun waktu yang cepat.
Pernyataan itu diutarakan Aldi, seraya menjawab pertanyaan jaksa terkait dengan rentang waktu proses pengadaan tanah di Munjul.
"Saksi Gede, tadi saudara menjawab bahwa pembelian tanah Munjul sampai PPJB itu mendadak?," tanya jaksa dalam persidangan kepada Aldi.
"Ya betul," jawab Aldi.
Dirinya memastikan kalau proses itu dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Hal itu didasarkan karena, dirinya belum melihat adanya dokumen pendukung.
Baca juga: KPK Hadirkan Eks Plt Dirut Sarana Jaya dalam Sidang Lanjutan Kasus Korupsi Tanah di Munjul
Kata dia, di dalam Perumda Pembangunan Sarana Jaya sejatinya seluruh kegiatan termasuk pengadaan tanah diatur dan sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP).
"Jadi dalam bentuk diagram atau flow chart ya (SOP-nya)?," tanya jaksa.
"Iya," jawab Aldi.
"Di dalam SOP adakah diatur mengenai waktu lamanya proses?," tanya lagi jaksa.
"seingat saya ada," timpal Aldi.
Aldi sendiri mengaku, menjadi pihak yang terlibat dan mengikuti rangkaian proses pengadaan tanah di Munjul tersebut.
Hanya saja katanya, dia belum melihat berkas kajian terkait tanah yang rencananya akan dijadikan program hunian DP Rp 0 itu.
"Saya belum pernah lihat ada dokumen kajian atau analisa mengenai tanah tersebut," ujar Aldi.
Dalam sidang kali ini, Aldi memberikan kesaksian untuk kelima terdakwa yang terlibat dalam perkara ini.
Baca juga: KPK Dakwa 2 Bos Adonara Propertindo dan Rudy Hartono Rugikan Negara Rp152 M di Kasus Munjul
Keseluruhan terdakwa itu yakni, eks Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan; Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian; Wakil Direktur PT Adonara Propertindo, Anja Runtuwene; dan pemilik PT Adonara Propertindo, Rudi Hartono Iskandar serta PT Adonara Propertindo sebagai terdakwa korporasi.
Diketahui, Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian, Wakil Direktur PT Adonara Anja Runtuwene, dan Direktur PT Aldira Berkah Rudy Hartono Iskandar merugikan negara sebesar Rp152,5 miliar dari hasil korupsi pengadaan tanah di Munjul.
JPU KPK mendakwa ketiganya melakukan perbuatan rasuah bersama mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan.
Tak hanya merugikan keuangan negara, mereka didakwa memperkaya PT Adonara sejumlah Rp152,5 miliar.
“Yaitu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp152.565.440.000,” bunyi surat dakwaan Tommy, Anja, dan Rudy yang didapat Tribunnews.com, sebagaimana dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/10/2021).
Penuntut umum menyatakan pada November 2018, Yoory menyampaikan kepada Tommy Adrian selaku Direktur PT Adonara Propertindo bahwa PD Sarana Jaya sedang mencari tanah untuk melaksanakan program rumah DP 0 Rupiah.
Kriteria tanah di antaranya berlokasi di Jakarta Timur dengan syarat luas 2 hektare, posisi di jalan besar, lebar muka bidang tanah 25 meter dan minimal row jalan sekitar 12 meter.
Pihak Adonara kemudian menemukan tanah di daerah Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur milik Kongregasi Suster-Suster Carolus Boromeuas.
Kongregasi suster awalnya menolak menjual tanah itu karena menganggap mereka broker.
Tetapi akhirnya setuju setelah didekati oleh Anja Runtuwene.
KPK menyatakan Perumda Sarana Jaya atas perintah Yoory membayar total Rp152,5 miliar kepada Anja Runtuwene.
KPK menganggap pembayaran Sarana Jaya itu atas pembelian tanah itu tidak mempunyai nilai manfaat karena tidak bisa dipergunakan untuk program DP 0 Rupiah.
Lembaga antirasuah menyatakan sebenarnya bawahan Yoory sudah beberapa kali melakukan kajian.
Hasilnya, tanah Munjul dianggap tidak layak untuk dijadikan hunian.
Namun, Yoory tetap memerintahkan pembayaran tersebut.
Selain itu, menurut jaksa, kepemilikan tanah Munjul juga tidak pernah beralih ke Sarana Jaya.
Sehingga telah merugikan keuangan negara sebanyak Rp152,5 miliar.