Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti temuan pihaknya terkait dengan jumlah vonis hukuman mati di Indonesia yang masih tinggi hingga saat ini.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, pihaknya secara tegas menolak adanya hukuman mati, karena hal itu sangat berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Itu adalah hak paling fundamental dalam hal aspek HAM yang sebetulnya harusnya dijamin," kata Fatia saat ditemui di Kantor KontraS, Jumat (10/12/2021).
Bahkan kata dia, dalam aturan internasional, disebutkan kalau segala bentuk kejahatan apapun tidak boleh dijatuhkan hukuman mati.
Fatia menyebut, harus ada hukuman berat lainnya sebagai alternatif dari pidana hukuman mati para terpidana.
"Dalam aturan internasional sendiri juga sudah disebutkan sejahat apapun orang melakukan kejahatan paling serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, agresi milter juga penjahat perang bahkan tidak boleh dijatuhkan hukuman mati," ucapnya.
Bahkan dirinya mengatakan, pemberian hukuman pidana mati kepada terdakwa belum ada pembuktiannya bisa membuat kapok atau menimbulkan efek jera.
Baca juga: Vonis Hukuman Mati Tak Berhenti Selama Pandemi, Paling Banyak pada Kasus Narkoba
Malah sebaliknya, dia menilai pidana hukuman mati merupakan putusan yang tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia.
"Banyak orang-orang yang terjerat kasus narkotika yang dijadikan terpidana mati tapi juga sebetulnya ini tidak efektif untuk menimbulkan efek jera," tukasnya.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, isu vonis hukuman mati, masih tergolong tinggi dan tidak berhenti dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hal itu termuat dalam catatan KontraS yang dirilisnya bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Jumat (10/12/2021).
Baca juga: Pakar Beberkan Kekeliruan Jaksa Tuntut Pidana Mati Heru Hidayat
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan, selama periode Desember 2020 hingga November 2021 pihaknya mencatat setidaknya terdapat 32 kasus vonis hukuman mati yang dijatuhkan. Dominan terdakwa yang divonis hukuman mati yakni mereka yang berurusan pada kasus narkoba.
"Isu vonis hukuman mati selama pandemi ternyata tidak berhenti, kami temukan 32 vonis hukuman mati," kata Rivanlee saat pemaparan di kantor KontraS, Kwitang, Jumat (10/12/2021).
Lebih lanjut, Rivanlee mengatakan, banyaknya jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan secara tidak langsung itu, malah menunjukkan bahwa keberadaannya tidak menjamin efektifitas penegakan hukum.
Bahkan kata dia, wacana atau tujuan penegak hukum untuk menimbulkan efek jera kepada para terdakwa bahkan belum pernah terwujud dan hanya menjadi angan-angan omong kosong.
"Sebab tidak ditemukannya korelasi positif antara semakin beratnya hukuman dengan semakin kuat efek jera yang ditimbulkan," ucapnya.
Baca juga: DPR: Tak Ada Toleransi, Hukuman Berat kepada Guru Pelaku Rudapaksa 12 Santriwati di Bandung
Berdasarkan hal tersebut, kata dia, pemerintah bukannya melakukan evaluasi terhadap efektifitas penerapan hukuman, malah justru kian melanggengkan penghukuman mati dengan mencantumkannya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP).
Padahal kata dia, ada beberapa alternatif lain yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mereduksi jumlah kasus dalam hal ini penyalahgunaan narkoba.
Penegak hukum juga harusnya memiliki hukuman alternatif untuk pembinaan masyarakat, bukan hanya untuk mewujudkan semangatnya dalam memberikan hukuman mati kepada masyarakat.
"Langkah ini jelas menunjukkan kemunduran Indonesia dalam upaya penghapusan hukuman mati," tuturnya.
Dalam RKUHP sendiri, hukuman mati disebut sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif.
Baca juga: Singgung Nama Pinangki, Sejumlah Ahli Tanggapi Tuntutan Hukuman Mati untuk Heru Hidayat
Hal tersebut berarti penjatuhan pidana mati dilakukan secara bersyarat (conditional Capital punishment) dan terpidana mati dapat diberikan masa percobaan 10 tahun untuk menunjukkan perilaku baik hingga putusannya dapat diganti menjadi pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun.
Atas hal itu, dirinya mengatakan, pidana mati yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam kasus apapun merupakan wujud yang kejam dan merendahkan martabat manusia.
"Meskipun dalam RKUHP hukuman mati bersifat ultimum remedium atau sebagai pilihan terakhir, tidak bisa dipungkiri bahwa hukuman mati merupakan tindakan yang kejam dan merendahkan martabat manusia," tukasnya.