TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyebut, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold seharusnya bukan 20 persen melainkan 0 persen.
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu menilai, pernyataan itu sudah keluar dari tugas, pokok, dan fungsi Firli sebagai pimpinan KPK.
Sebab, terkait ambang batas pencalonan presiden sudah diatur dalam dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
"Offside, itu sudah keluar jalur, threshold itu produk politik dan itu diatur dalam Undang-Undang Pemilu," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/12/2021).
Anggota Komisi XI DPR RI itu menilai, berbeda halnya jika pernyataan Firli itu dikaitkan dengan biaya politik mahal, akibat dari demokrasi yang liberal, menurutnya hal itu masih relevan.
"Kalau bicara kontestasi politik saat ini pilkada, pileg, pilpres dengan biaya tinggi sebagai konsekuensi dari demokrasi sangat liberal, relevan. Biaya politik tinggi yang berdampak pada perilaku korupsi mungkin itu masih relevan," ucapnya.
Di sisi lain, Masinton melihat adanya gugatan presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK) memang sudah diatur melalui UU.
Baca juga: KPK Kurang Orang, Firli Bahuri Ngadu ke Jokowi
"Menurut saya bagus diuji ke Mahkamah Konstitusi karena itu ruangnya disediakan oleh mekanisme ketatanegaraan sesuai perundang-undangan," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) yang tengah ramai menjadi perbincangan.
Diketahui, ada sejumlah pihak yang tengah menggugat ambang batas ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu dia singgung Firli Bahuri saat memberikan materi di acara Silatnas dan Bimtek anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Partai Perindo yang digelar di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (10/12/2021) lalu.
"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parliamentary threshold, president threshold. Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah. Itu pak kalau kita ingin mengentaskan korupsi," kata Firli.
Menurut Firli, dengan PT 0 persen dan 0 rupiah, tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi. Sebab, biaya politik tinggi menyebabkan adanya politik transaksional.
Baca juga: Anggota DPD RI Dukung Pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri Soal Presidential Threshold 0 Persen
Padahal, di era reformasi yang sudah bertransformasi ini, keterbukaan merupakan ruh daripada demokrasi di Indonesia.
Dengan keterbukaan, kata Firli, seharusnya tidak ada lagi celah untuk korupsi ataupun transaksional di ruang gelap yang kelam dan saat malam gelap gulita.
"Maknanya apa? Maknanya kita setelah tertutup seharusnya semuanya transparan, semuanya akuntabel, semuanya bisa dipertanggungjawabkan. Tidak perlu adanya politik yang mahal, tidak perlu," katanya.