TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan penistaan agama serta ujaran kebencian, Muhammad Yahya Waloni mengakui jika ceramahnya tak sesuai dengan nilai luhur atau norma.
Atas hal itu, dirinya meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan atas pernyataannya itu.
Permintaan maaf tersebut diutarakan Yahya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam agenda pemeriksaan terdakwa.
Yahya ikutu jalannya persidangan secara virtual dari Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri.
"Tapi ternyata (pernyataan) saya terlampau kasar, etikanya benar-benar enggak, saya mohon maaf," kata Yahya dalam persidangan, Selasa (21/12/2021).
Tak hanya itu, pria yang dikenal sebagai penceramah tersebut juga menyatakan akan bertanggung jawab atas segala pernyataan yang diungkapkannya.
"Saya kira tidak ada yang mulia, saya ikuti semuanya, saya bertanggungjawab benar semua," ucap Yahya kepada Majelis Hakim.
Baca juga: Yahya Waloni Akui Ceramahnya yang Diduga Menistakan Agama Hanya Sebuah Candaan
Sebelumnya, Yahya Waloni mengatakan, isi ceramahnya yang telah menistakan suatu agama tertentu awalnya merupakan sebuah candaan semata.
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan terkait apa yang diungkapkan dari Yahya Waloni dalam ceramahnya di Masjid Jenderal Sudirman World Trade Center Jakarta pada Agustus 2019.
"Kata-kata negatif apa yang saudara katakan?," tanya jaksa dalam persidangan, Selasa (21/12/2021).
"Ya seperti itu kata roh kudus dikatakan roh kudis, kitab bible kristen mateus markus lukas stefanus jadi tetanus, cap tikus dan lain sebagainya. seingat saya itu," kata Yahya.
Mendengar penjelasan itu, lantas jaksa menanyakan motivasi atau niatan dari Yahya mengutarakan pernyataan tersebut.
Berdasarkan pengakuannya, ungkapan itu dilontarkan awalnya hanya untuk bercanda kepada ratusan jamaah yang hadir saat itu.
Baca juga: PN Jakarta Selatan Kembali Gelar Sidang Perkara Dugaan Penistaan Agama atas Terdakwa Yahya Waloni
"Apa alasan terdakwa mengatakan hal tersebut?," tanya lagi jaksa.
"Alasannya saya tidak mengikuti emosional saya untuk situasi itu, saya pakai hanya sebagai candaan, tapi ternyata saya terlampau kasar, etikanya benar-benar enggak," ucap Yahya.
Padahal kala itu, dirinya sadar kalau kegiatan ceramah yang bertema "nikmatnya Islam" itu sedang direkam oleh pihak panitia DKM Masjid Jenderal Sudirman World Trade Center Jakarta.
Hanya saja dia tidak mengetahui kalau ternyata tayangan itu masuk dalam Live Streaming akun YouTube dan Facebook milik Panitia Masjid.
"Apakah ada panitia yang mengkonfirmasi pada saudara akan disiarkan atau gimana?," tanya jaksa
"Tidak diberitahukan," jawab Yahya.
"Namun ketika saudara melihat kamera tersebut apa yang saudara lakukan?," tanya lagi jaksa.
"Sepengetahuan saya itu hanya dokumentasi orang yang merekam saja," timpal Yahya.
Diketahui dalam perkara ini Yahya Waloni didakwa atas kasus dugaan penistaan agama sehingga menimbulkan kebencian di antara umat beragama.
Dalam dakwaannya jaksa turut menjelaskan posisi perkara dari Yahya Waloni, di mana hal ini terjadi, pada Rabu (21/8/2019) saat itu terdakwa sebagai penceramah diundang oleh DKM masjid Jenderal Sudirman World Trade Center Jakarta untuk mengisi kegiatan ceramah dengan tema “nikmatnya islam.
Jaksa menyatakan, dalam agenda tersebut turut dihadiri sekitar 700 jamaah, namun dalam isi ceramahnya, Yahya menyampaikan materi yang menimbulkan rasa kebencian antar individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Di mana isi ceramah dari Yahya menyangkut ungkapan yang bermuatan kebencian terhadap umat kristen sehingga materi ceramah dapat menyakiti umat kristiani.
Padahal selain didengar oleh jamaah masjid tersebut, ceramah itu juga ditayangkan secara langsung (live streaming) di akun media sosial yang dimiliki oleh mesjid WTC yaitu youtube dan facebook sehingga ditonton oleh khalayak ramai.
Atas hal itu, Yahya Waloni didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu pertama pasal 45a ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) undang-undang no 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE), atau kedua, pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketiga, pasal 156 KUHP.