News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mantan Menlu dan Diplomat Ulung Prof Mochtar Kusumaatmadja Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Mochtar Kusumaatmadja.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prof Mochtar Kusumaatmadja dinilai punya jasa besar bagi Bangsa Indonesia.

Berkat pemikiriannya mengenai wawasan nusantara, Indonesia dipandang berhasil mendapatkan kedaulatan dan potensi kelautannya

"Sebelum Deklarasi Djuanda yang banyak berisi pemikiran Prof Mochtar, luas perairan kita hanya 3 mil dari garis pantai terluar," ujar Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Singgih Tri Sulistiyono dalam keterangannya, Kamis (30/12/2021).

Menurutnya, seusai Konferensi Meja Bundar (1949), Belanda ingin tetap mempertahankan Irian Barat sebagai jajahannya dan ingin tetap menancapkan pengaruh ekonomi dan politiknya di Indonesia.

Mereka secara leluasa memasuki perairan di antara pulau-pulau wilayah Indonesia.

Hal itu bisa dilakukan karena perairan tersebut dianggap perairan internasional, sementara wilayah Indonesia daratan dan perairan hanya sejauh 3 mil dari ujung terluar daratan.

Kala itu, menurut Singgih, Mochtar Kusumaatmadja berpikir bahwa lautan di dalam wilayah kepulauan merupakan satu kesatuan sebagai tanah air.

Atas pemikirannya itu, ia menolak batas-batas kedaulatan Republik Indonesia yang diklaim Belanda.

Hingga tahun 1950-an, Indonesia masih menggunakan Ordonansi Belanda 1939.

Baca juga: Jasa Besar Mochtar Kusumaatmadja Ubah Sejarah Laut Dunia

Aturan itu menegaskan, bahwa luas wilayah laut teritorial Indonesia hanya 3 mil.

Mochtar Kusumaatmadja membuat, luas perairan Indonesia menjadi 12 mil.

Kini luas Indonesia menjadi 1,919 juta kilometer persegi menurut Singgih , merupakan hasil perjuangan Prof Mochtar Kusumaatmadja untuk menyatukan daratan dan perairan Nusantara.

Mochtar Kusumaatmadja membuat garis dasar lurus pada peta, yang ditarik dari satu titik terluar ke titik terluar lain dari wilayah darat atau pulau yang dikuasai oleh Indonesia.

Ini sering disebut sebagai metode point to point, sehingga seluruh kepulauan Indonesia diikat sabuk straight baseline.

Hasilnya wilayah perairan dan daratan (pulau) merupakan satu kesatuan, yang disebut sebagai kepulauan Indonesia yang mencakup darat dan lautnya.

Sehingga, cita-cita mengenai tanah air terwujud berkat ide cerdas Mochtar Kusumaatmadja.

Wawasan Nusantara yang diperkenalkan Mochtar dideklarasikan sebagai Deklarasi Djuanda merujuk nama Perdana Menteri Indonesia saat itu.

Baca juga: Wamenlu: Mochtar Kusumaatmadja Telah Abdikan Diri untuk Nusa dan Bangsa

Setelah melalui perjuangan yang panjang akhirnya pada 1982 konsep Wawasan Nusantara yang dianggap sepadan dengan konsep Archipelagic State menjadi bagian integral dari United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS).

Singgih yang juga Ketua DPP LDII itu, mengatakan, dengan pemikiran Mochtar tersebut kedaulatan Indonesia tidak tercerai berai.

Bahkan ia menyebut, Mochtar memberi sumbangsih perjalanan sejarah bangsa.

Singgih membagi tonggak kebangsaan Indonesia menjadi tiga.

Pertama, Sumpah Pemuda yang merupakan tonggak terbentuknya bangsa Indonesia.

Kedua, Proklamasi Kemerdekaan yang merupakan tonggak berdirinya Negara RI.

Ketiga, Deklarasi Djuanda yang merupakan tonggak peneguhan wilayah kedaulatan negara RI.

"Sebab itu tokoh-tokoh yang telah berjuang di tonggak-tonggak kebangsaan ini patut diapresiasi sebagai pahlawan nasional. Untuk itulah maka LDII mendukung dan memperjuangkan agar Prof Mochtar ditetapkan sebagai pahlawan nasional," katanya.

Baca juga: PROFIL Mochtar Kusumaatmadja, Menlu Era Orde Baru yang Dijuluki Bapak Hukum Laut Indonesia

Secara lebih mendalam, Singgih menjelaskan bahwa sejak 1 Agustus 1957, Mochtar ditugaskan Perdana Menteri Djuanda untuk bergabung ke dalam Panitia Interdepartemental yang bertugas Menyusun RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim untuk mengganti Ordonansi 1939 (’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’) yang mengatur wilayah perairan Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

“Langkah sistematis Mochtar, yakni melakukan tinjauan kritis terhadap Ordonansi 1939 yang masih terus berlaku selama masa kemerdekaan karena memang pemerintah Republik Indonesia belum melakukan perubahan ataupun penggantian,” ujarnya.

Kedua, Mochtar mencari rujukan yurispudensi yang bisa dijadikan sebagai preseden untuk menciptakan produk hukum sebagai basis untuk mengklain wilayah darat dan laut Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh.

“Ia memperoleh rujukan dari penyelesaian kasus The Anglo-Norwegian Fisheries case 1949 di mana Pemerintah Norwegia mengukur laut teritorialnya dengan menarik garis pangkal lurus (straight baseline) dari titik-titik terluar daratan pada waktu air surut lalu ditambah 4 mil laut. Mochtar menerapkan metode yang sama untuk wilayah Indonesia dengan membentangkan laut teritorial seluas 12 mil laut,” jelas Singgih.

Pada akhirnya pemikiran dan draf Mochtar inilah yang kemudian diumumkan oleh pemerintah kepada seluruh dunia pada 13 Desember 1957 melalui “Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia”.

Itu pula yang terkenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda.

Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia.

“Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang di ukur dari garis garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar dari pada pulau pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang,” kata Singgih.

Deklarasi Djuanda menjadi landasan bagi penyatuan wilayah darat dan laut sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.

Mochtar telah menyelesaikan tugas zamannya yaitu meletakkan dasar penerapan prinsip negara kepulauan (archipelagic state) bagi Indonesia.

Konsep yang digagas Mochtar bahwa negara kepulauan yang memandang darat (pulau) dan perairan (laut) sebagai sebuah kesatuan mampu menyelesaikan persoalan aktual Indonesia.

“Ekspansi kapal-kapal perang Belanda di perairan kepulauan Indonesia yang tidak bisa diintersepsi Angkatan Laut Indonesia dan berbagai gerakan separatism yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, dengan konsep tersebut membuat Belanda tak lagi bisa berlayar di laut-laut pedalaman Indonesia, di mana akhirnya setelah 25 tahun, prinsip negara kepulauan tersebut diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1982,” ungkapnya.

Melalui konsep tersebut, Ia menegaskan bahwa Mochtar Kusumaatmadja merupakan peletak dasar bagi paradigma maritim dalam pembangunan nasional.

“Untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim yang kuat diperlukan paradigma maritim yang kuat pula, yaitu wawasan atau pola pikir yang memandang wilayah daratan (kepulauan) sebagai bagian dari wilayah laut dari negara maritim Indonesia,” katanya.

Definisi negara maritim untuk Indonesia, menurut Singgih adalah sebuah negara yang mampu membangun kekuatan maritimnya (seapowers) baik di bidang pelayaran dan perdagangan (mechant shipping), kekuatan pertahanan dan keamanan maritim (maritime figting instruments), dan kemajuan teknologi kemaritiman (maritime technology) untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimilikinya secara sinergis (laut dan darat) dalam kerangka dinamika geopolitik guna mencapai kemakmuran dan kejayaan bangsa dan negaranya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini