TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang sebanyak Rp 100 miliar terkait kasus dugaan suap pengurusan anggaran Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam APBN-P tahun 2016, dengan tersangka korporasi PT Merial Esa.
Uang Rp 100 miliar itu disita dari beberapa rekening bank yang ditengarai terkait dengan perkara. Akan tetapi, KPK tidak mengungkap para pihak tersebut.
"Tim penyidik dalam proses penyidikan ini, telah menyita uang sekitar Rp 100 miliar yang berada di beberapa rekening bank yang diduga terkait dengan perkara," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (3/1).
KPK, dikatakan Ali, berharap duit miliaran rupiah ini bisa dijadikan sebagai pemulihan aset dalam kasus Bakamla.
"Diharapkan uang yang disita tersebut bisa dijadikan sebagai bagian dari asset recovery dari tindak pidana dimaksud," katanya.
PT Merial Esa sendiri bakal segera diadili atas perkara dugaan suap di Bakamla. Hal ini seiring dengan langkah tim penyidik KPK merampungkan berkas penyidikan dengan tersangka perusahaan milik Fahmi Dharmawansyah itu.
"Setelah dilakukan proses penyidikan dengan tersangka korporasi PT ME oleh tim penyidik maka selanjutnya Kamis (30/12/2021) kemarin, tim jaksa menerima tahap II atau pelimpahan tersangka beserta barang bukti dari tim penyidik karena kelengkapan isi berkas perkara telah terpenuhi," kata Ali dalam keterangannya, Jumat (31/12/2021) lalu.
Proses pelimpahan tahap II dengan tersangka PT Merial Esa ini diwakili oleh direktur utama bersama perwakilan dari staf pemasaran.
Dengan pelimpahan ke tahap penuntutan ini, tim jaksa memiliki waktu maksimal 14 hari kerja untuk menyusun surat dakwaan terhadap PT Merial Esa. Nantinya surat dakwaan itu akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk disidangkan.
"Persidangan akan dilaksanakan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Ali.
Menyuap Rp 12 Miliar
KPK menetapkan korporasi PT Merial Esa sebagai tersangka pada 1 Maret 2019. KPK menduga PT Merial Esa secara bersama-sama atau membantu memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait proses pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN Perubahan 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.
PT Merial Esa disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau pasal 56 KUHP.
Pada April 2016, Manager Director PT Rohde & Schwarz Indonesia, Erwin Sya'af Arief, yang juga komisaris PT Merial Esa berkomunikasi dengan Anggota DPR periode 2014-2019, Fayakhun Andriadi, untuk mengupayakan agar proyek satelit pemantau di Badan Keamanan Laut dapat dianggarkan dalam APBN-Perubahan 2016.
Arief juga diduga menjanjikan fee tambahan untuk Andriadi. Total komitmen fee dalam proyek ini adalah tujuh persen dengan satu persen dari jumlah itu diperuntukkan pada Andriadi.
Sebagai realisasi komitmen fee itu, Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah, memberikan uang pada Andriadi sebesar 911.480 dolar AS (sekitar Rp12 miliar) yang dikirim secara bertahap sebanyak empat kali melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, China.
PT Merial Esa merupakan korporasi yang dimiliki Fahmi Darmawansyah.
Dalam proses terjadinya pemberian suap ini diduga dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja ataupun hubungan lain di PT Merial Esa yang bertindak dalam lingkungan korporasi.
PT Merial Esa merupakan korporasi yang disiapkan akan mengerjakan proyek satelit pemantauan di Bakamla setelah dianggarkan dalam APBN Perubahan 2016. (ilham/tribunnetwork/cep)
Baca juga: Jumlah Pasien Covid-19 di New York dan Prancis Terus Melonjak