TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Media sosial sebagai ruang publik, kini berfungsi pula sebagai pusat informasi, edukasi, hiburan, hingga kontrol sosial.
Peran media massa bahkan diimbangi oleh media sosial, bahkan sampai mengubah cara wartawan mencari informasi yang kemudian diolah menjadi berita.
"Persoalannya, media sosial sebagai ruang publik malah ramai dengan hal-hal yang tidak mendidik. Ini seperti memindahkan sinetron ke media sosial dan kita nikmati setiap hari dari ponsel kita," ujar Ketua DPP LDII Rulli Kuswahyudi, dalam keterangannya, Kamis (6/1/2022).
Rulli mengungkapkan fenomena media massa yang terus jadi pengamatan para pakar komunikasi, beralih ke media sosial.
Ia mencontohkan, bila dulu terdapat kajian televisi dan koran menjadi guru atau acuan, kini media sosial mengambil alih posisi tersebut.
Ironinya, sambung Rulli, isi media sosial makin sulit dipertanggungjawabkan. Sebagai ruang publik, media sosial banyak sampahnya ketimbang mengedukasi.
"Media massa dengan segala bias atau ketidaknetralannya, masih menggunakan metode verifikasi, cek ricek dan liputan dua sisi. Sementara media sosial, semua boleh bicara seolah-olah semuanya pakar. Bisa saja anak SMP habis baca sesuatu di medsos, mendebat seorang profesor," katanya.
Baca juga: 20 Kata-kata Bijak dan Penuh Motivasi untuk Penyemangat Tahun Baru 2022, Cocok Dibagikan ke Medsos
Persoalan utama, sebagai ruang publik, media sosial sangat demokratis sekaligus sangat liberal.
Sementara pada sisi lain, kontrol dari pemerintah berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Di lain sisi ada pembatasan kebebasan berekspresi yang menurunkan kualitas demokrasi, namun di sisi lain bila tidak dikontrol akan membahayakan keutuhan bangsa," ucap Rulli.
Bagaimana solusinya? Rulli menyatakan tidak harus meniru Barat dalam membangun ruang publik yang kontributif. Menurutnya kebebasan berekspresi di Amerika Serikat dan Eropa kini diuji dengan ketidakpuasan.
"Problem ketidakterwakilan pemilih oleh wakil rakyat di negara-negara maju, menyebabkan gerakan 99 persen di Amerika dan Prancis, akibatnya kerusuhan menjadi-jadi," paparnya.
Kerusuhan di jalanan New York dan Paris, dikendalikan melalui media sosial di mana hujatan-hujatan dalam bungkus kebebasan berbicara dan berekspresi membuat kekerasan terjadi.
"Pada titik ekstrem, Facebook terbukti dijadikan alat koordinasi dalam perang sipil di Suriah dan kudeta di Mesir," tegas Rulli.