News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

KPK Duga Suap Dana PEN di Kemendagri Imbas Minimnya Transparansi

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga suap pinjaman dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) daerah di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terjadi karena minimnya transparansi.

Lobi-lobi pinjaman terjadi karena Kemendagri dinilai tidak terbuka dalam proses pinjaman itu.

"Terkait pinjaman kalau semuanya serba tidak transparan akhirnya akan membuka ruang bagi para pihak itu untuk negosiasi," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam keterangannya, Kamis (3/2/2022).

Alex berujar, transparansi anggaran penting untuk menutup celah korupsi.

KPK sudah sering mengingatkan kementerian dan lembaga terkait hal ini.

"Kami lewat kedeputian pencegahan sudah berkali-kali mengingatkan tentang adanya transparansi," ujar dia.

Baca juga: Eks Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Ditetapkan Jadi Tersangka Suap Dana PEN Kolaka Timur

Alex juga mengatakan dugaan celah suap di Kemendagri makin terbuka setelah adanya orang dalam yang memberikan akses.

Korupsi bakal mudah terjadi jika kombinasi itu terjadi.

"Sebetulnya orang dalam itu hanya menjual informasi kan seperti itu kan. Apa yang dia lakukan sebetulnya enggak ada kan seperti itu. Bukan kewenangannya tapi dia mempunyai informasi itu seolah-olah yang bersangkutan bisa tanda kutip mengurus Informasi," kata Alex.

KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan suap pengajuan dana PEN daerah untuk Kabupaten Kolaka Timur pada 2021.

Mereka, yakni mantan Direktur Jenderal Keuangan Daerah (Dirjen Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto, Bupati nonaktif Kolaka Timur Andi Merya Nur, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M. Syukur Akbar.

Kasus ini bermula saat Bupati nonaktif Kolaka Timur Andi Merya Nur meminta bantuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M Syukur Akbar dipertemukan dengan Ardian sekitar Maret 2021.

Andi dan Ardian kemudian bertemu sekitar Mei 2021.

Dalam pertemuan itu, Andi mengajukan permohonan pinjaman dana PEN untuk Kolaka Timur sebesar Rp350 miliar.

Atas permintaan itu, Ardian diduga meminta jatah tiga persen dari nilai pengajuan pinjaman ke Andi.

Beberapa waktu setelahnya Andi mengirimkan Rp2 miliar dengan pecahan dua mata uang asing melalui bantuan Laode untuk Ardian.

Setelah uang muka itu diterima, Ardian langsung mengerjakan permintaan pinjaman PEN Kolaka Timur dengan membuat draft final surat Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan.

Laode juga diminta membantu proses permintaan dana ini oleh Ardian.

Andi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Ardian dan Laode disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini