TRIBUNNEWS.COM - Beberapa daerah di Indonesia seperti Tanimbar, Timor, Sumbawa, Lombok, Bali, Jepara, dan Lampung mempunyai tradisi membuat kain tenun.
Tradisi tenun juga ada di daerah Tapanuli yang dalam bahasa daerah setempat disebut ulos.
Bagi masyarakat Tapanuli atau masyarakat Batak, ulos bukan hanya kain biasa untuk kebutuhan sehari-hari, namun juga mempunyai makna khusus dan sakral dalam hidup bermasyarakat.
Baca juga: Daftar Nama Pakaian Adat di Indonesia dan Asal Daerahnya: Ulos, Kebaya hingga Cele
Kain tradisional Batak, Sumatra Utara ini menyimbolkan kehangatan, restu, berkat, kasih sayang dan persatuan.
Mengutip Indonesiabaik.id, Ulos merupakan produk peninggalan peradaban tertua di Asia.
Ulos bahkan diperkirakan telah ada jauh sebelum bangsa Eropa mengenal tekstil.
Sebagai pakaian resmi adat, menenun ulos tidak dapat terburu-buru.
Pembuatan ulos dapat makan waktu berminggu-minggu, bahkan beberapa bulan.
Proses pembuatan sehelai kain berkualitas tinggi bisa mencapai 4 bulan.
Ulos dibuat menggunakan Hasuksak, yakni alat tenun bukan mesin.
Setelah jadi, harga selembar kain Ulos berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 10 juta.
Apabila sudah dalam bentuk busana berkisar Rp 1 juta hingga Rp 30 juta.
Umumnya, motif Ulos terdiri dari minimal dua warna dan maksimal tiga warna berdasarkan warna dasa, yakni:
- Merah
- Putih
- Hitam
Baca juga: Penenun Ulos Diminta Terus Berinovasi Tingkatkan Produksi
Filosofi Ulos
Selain nilai estetika, pada sehelai ulos juga sarat nilai seni, sejarah, religi, dan budaya.
Tiap motif, pilihan warna, jenis, hingga cara pemakaian dan pemberian ulos, semua punya makna tersendiri.
Secara garis besar, ulos memiliki makna kehidupan dan representasi semesta alam.
Ulos juga simbol restu, kasih sayang dan persatuan.
Mengutip laman Kemdikbud, menurut sejarahnya, ulos secara harfiah berarti selimut.
Dulunya nenek moyang suku Batak adalah orang gunung.
Mereka menganggap ulos paling nyaman, praktis, dan aman bagi kehidupan sehari-hari, untuk menghangatkan tubuh dan melindungi dari dingin, ketimbang Matahari dan api.
Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer dan semakin penting, terlebih ketika tetua adat menggunakannya pada pertemuan adat resmi.
Pun perempuan-perempuan Batak yang bangga menenun, memakai, dan mewariskannya kepada keluarga sebagai suatu pusaka.
Mengingat tingginya nilai ulos bagi kehidupan, dibuatlah aturan adat yang mengawali akar filosofinya.
Namanya ritual Mangulosi atau memberikan ulos.
Yakni seseorang hanya boleh ‘mangulosi’ mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah.
Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak), tetapi tidak sebaliknya.
Jenis ulos yang diberikan juga harus sesuai dengan ketentuan adat.
Kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, fungsinya tidak bisa bertukar karena tiap ulos bermakna tersendiri.
Misal, jenis ulos Ragidup sebagai simbol kehidupan dan paling tinggi derajatnya ketimbang jenis lain tak bisa sembarangan diberikan selama status orang tersebut belum menikahkan anak, meski ia sedang menghadapi momen penting menjadi mempelai.
Sebagai gantinya, mempelai akan diberi ulos Ragihotang yang bermakna doa.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang non-Batak.
Pun digunakan sebagai jimat (tondi) yang diyakini memiliki kekuatan melindungi raga dari hal jahat lewat sisipan doa.
Penempatan ulos yang digunakan pun bermakna, yakni menangkal cuaca panas dan dingin, hingga memperlihatkan status.
Ulos ada yang dikalungkan, digunakan sebagai syal, dilingkarkan ke badan, dan posisi lain seperti pengikat kepala.
Umumnya, ulos yang diselempangkan itu untuk para raja.
Motif ulos bisa berbeda-beda, sesuai kasta dan keturunan.
Sementara soal warna, para raja dan ratu biasa menggunakan emas dan merah.
(Tribunnews.com/Widya)