Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKS DPR RI meminta pendalaman terlebih dahulu dan menolak pembahasan lebih lanjut atas revisi kedua atas Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto, menyebut revisi UU PPP ini merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Hal itu disampaikan Mulyanto dalam Sidang Pleno Baleg DPR RI yang membahas revisi kedua atas undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), Senin (7/2/2022).
"Berkaitan dengan Metode Omnibus yang dimasukkan dalam revisi UU PPP tersebut, ini sah-sah saja diterapkan dalam penyederhanaan UU, menghilangkan tumpang tindih UU ataupun mempercepat proses pembentukan UU selama bersifat pasti, baku, dan standar," kata Mulyanto.
Baca juga: Buruh Kembali Demo Tolak Omnibus Law dan Tuntut Revisi Kenaikan UMP di Luar DKI Jakarta
"Sifat pasti, baku, dan standar itu yang ditekankan putusan MK terkait JR UU Omnibus Law Cipta Kerja," lanjut Mulyanto.
Untuk itu Fraksi PKS mengusulkan sejumlah prasyarat terkait penggunaan Metode Omnibus.
Pertama, metode Omnibus hanya dapat digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dalam satu topik khusus (klaster) tertentu saja. Jangan melebar atau merambah ke topik-topik lain.
"Tidak boleh ada penumpang gelap yang sekadar untuk memanfaatkan kesempatan, sebagaimana yang terjadi saat pembahasan UU Omnibus Law Cipta Kerja lalu. Pembatasan ini penting, agar kita tidak mengulang kesalahan sebelumnya," ujar Mulyanto.
Kedua, soal waktu pembahasan. Diperlukan pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai dalam penggunaan metode Omnibus ini.
Alokasi waktu tersebut sesuai secara proporsional dengan jumlah UU yang terdampak dari pembahasan dengan metode ini.
Menurut Mulyanto, pengaturan ini penting, agar penyusunan perundangan tidak dilakukan secara ugal-ugalan dengan mengabaikan aspirasi publik.
Mulyanto menegaskan, bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dengan metode Omnibus harus melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi publik, baik dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum.
Mobilisasi partisipasi publik ini dilakukan dengan memperhatikan sebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
"Selain itu untuk mengoptimalkan partisipasi publik ini, maka setiap rancangan peraturan perundang-undangan, termasuk naskah akademiknya, harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas," tandasnya.