TRIBUNNEWS.COM - Ibadah haji di Metaverse menulai polemik di masyarakat.
Kontroversi ini datang dari inisiatif Arab Saudi telah menghadirkan hajar aswad, sebuah batu hitam yang terletak di tenggara Kabah, di dalam metaverse pada Desember tahun lalu.
Secara sederhana, metaverse adalah sebuah ruang virtual yang memanfaatkan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) yang memungkinkan semua orang untuk berkumpul dan berinteraksi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan penjelasan terkait haji dengan teknologi virtual tersebut.
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan, pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Kabah secara virtual dan tidak memenuhi syarat.
Hal tersebut dikarenakan aktifitas ibadah haji merupakan ibadah mahdlah yang tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan.
"Haji itu merupakan ibadah mahdlah, besifat dogmatik, yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi SAW," kata Niam saat dikutip dari Kompas.com, Selasa (8/2/2022).
Menurutnya, ada beberapa aktifitas ibadah dalam haji yang membutuhkan kehadiran fisik dan terkait dengan tempat tertentu, seperti thawaf.
Baca juga: Pemerintah Disarankan Tambah Hotel Karantina untuk Keberangkatan Jamaah Umrah Selain Asrama Haji
Baca juga: Menag Terbitkan Edaran Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan, Kapasitas Ibadah Berjamaah Diatur Tiap Level
Ia menjelaskan, tata cara thawaf adalah mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari sudut hajar aswad (secara fisik) dengan posisi Kabah berada di sebelah kiri jemaah.
"Manasik haji dan umrah tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual, atau dilaksanakan dengan cara mengelilingi gambar Kabah atau replika Kabah," jelas dia.
Menurut MUI, platform untuk kunjungan Kabah secara virtual melalui metaverse bisa dimanfaatkan untuk mengenali lokasi yang dijadikan tempat pelaksanaan ibadah haji.
Kunjungan virtual juga bisa dilakukan untuk persiapan pelaksanaan ibadah atau biasa disebut sebagai latihan manasik haji atau umrah.
"Kunjungan ke Kabah secara virtual bisa dioptimalkan untuk explore dan mengenali lebih dekat, dengan 5 dimensi, agar ada pengetahuan yang utuh dan memadai sebelum pelaksanaan ibadah," ujarnya.
Bagi Niam, ini merupakan bagian inovasi dari adanya teknologi yang perlu disikapi secara proporsional.
"Teknologi yang mendorong pemudahan, tapi pada saat yang sama harus faham, tidak semua aktifitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi," tutupnya.
Baca juga: Menag Soal Karantina Jemaah Umrah di Asrama Haji: Biaya Jadi Lebih Ringan
Seperti diketahui, Program kunjungan Kakbah secara digital itu terealisasikan oleh Badan Urusan Pameran dan Museum Arab Saudi, bekerja sama denga Universitas Umm al-Qura.
Perilisan sejak bulan lalu ini memang membuat tempat suci umat Islam tersebut semakin mudah untuk dikunjungi.
Ketua Presidensi Dua Masjid Suci Sheikh Abdul Rahman al-Sudais pun menyebut, banyak peninggalan sejarah di Makkah yang pihaknya perlu buat di metaverse.
Versi metaverse dari Kakbah ini juga, menurut seorang pejabat Arab Saudi, bisa jadi media simulasi pelaksanaan ibadah haji, diberitakan Tribunnews sebelumnya.
Hal ini kemudian bikin banyak orang bertanya-tanya, apakah kunjungan secara virtual itu bisa terhitung sebagai ‘ibadah haji’ sungguhan yang sah.
Haji sendiri merupakan kunjungan orang Islam ke Makkah untuk menunaikan serangkaian ibadah, salah satunya mengunjungi Kakbah.
Imam Besar Masjidil Haram, Sheikh Abdul Rahman al-Sudais ini juga telah menjadi orang pertama yang mencoba teknologi bernama "Virtual Black Stone Initiative" itu.
"Arab Saudi memiliki situs keagamaan dan sejarah besar yang harus kita digitalkan dan komunikasikan kepada semua orang melalui sarana teknologi terbaru," kata Sheikh al-Sudais, dikutip dari Middle East Eye.
(Tribunnews.com/MilaniResti/Muhammad Zulfikar) (Kompas.com/Ahmad Naufal Dzulfaroh)