Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perjanjian kesepakatan Re-alignment Flight Information Region (FIR) atau Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan antara Indonesia dengan Singapura ditandatangani pada 25 Januari 2022 lalu telah memicu pro dan kontra di tengah masyarakat hingga hari ini.
Dalam polemik tersebut, muncul juga isu pendelegasian kontrol atas FIR dari pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Singapura.
Pemerintah melalui pernyataan resmi Kementerian Perhubungan menyatakan, nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura menyatakan, untuk sekitar 29 persen di bawah ketinggian 37 ribu kaki pengelolaan FIR-nya didelegasikan kepada Singapura.
Area tersebut yakni yang berada di sekitar bandara Changi.
Sebanyak 29 persen area dimaksud adalah bagian dari area FIR seluas 249.575 km2 dengan ketinggian 0 sampai tidak terbatas yang jadi bagian dari FIR Jakarta.
Menurut Kemenhub, pendelegasian itu diberikan karena pertimbangan keselamatan penerbangan sekaligus menghindari fragmentasi atau segmentasi pelayanan.
Baca juga: Cerita FIR di Masa Lalu: Marsekal TNI AU Kaget, Kirim Logistik ke Natuna Harus Izin ke Singapura
Pemerintah juga menyatakan di dalam 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan misalnya di Bandara Batam, Tanjung Pinang, dan lain-lain.
Menanggapi hal tersebut, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim memandang apabila wilayah udara kedaulatan Indonesia didelegasikan ke negara lain, maka Indonesia mendelegasikan sub sistem dari sistem besar yang bernama sistem pertahanan nasional.
Baca juga: Perjanjian FIR Berpotensi Tabrak Undang-Undang Penerbangan, Ini Penjelasan Kemenhub
Sistem pertahanan nasional, kata dia, terdiri dari banyak komponen atau sub-sub sistem antara lain pesawat udara, pangkalan udara, sistem rada, command and control (komando dan pengendalian), dan wilayah.
Chappy juga menyoroti penjelasan resmi pemerintah yang menyatakan Indonesia bukan menyerahkan wilayah udara kedaulatan, melainkan hanya menyerahkan pelayanan atau pengelolaannya.
Baca juga: Dubes Suryo Pratomo Jelaskan Keuntungan FIR Dalam Konteks Hubungan RI - Singapura
Padahal di dalam terminologi militer, kata Chappy, pengelolaan bermakna command and control atau pusat komando dan pengendalian di mana di era perang siber saat ini hal tersebut adalah nyawa dari segalanya.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk "Quo Vadis Perjanjian FIR (Flight Information Region) Indonesia-Singapura yang disiarkan di kanal Youtube Forum Insan Cita pada Minggu (13/2/2022).
"Jadi apabila command and control di wilayah udara kedaulatan kita diserahkan kepada negara lain, wilayah udara kedaulatan kita delegasikan ke negara lain, kita telah mencopot roda-roda gigi dari sub sistem pertahanan udara nasional kita kepada orang lain," kata Chappy.
Baca juga: Menhub: Keberhasilan FIR Jakarta Akhiri Status Quo di Atas Kepulauan Riau dan Natuna
Apabila sub sistem itu tidak berada di dalam satu command and control, lanjut dia, maka mustahil Indonesia akan mampu menjalankan sistem pertahanan udara nasional yang merupakan bagian integral dari sistem pertahanan negara secara keseluruhan.
Pada intinya, kata dia, adalah bagaimana Indonesia menjaga wilayah udara kedaulatannya sebagai sebuah wilayah yang merupakan bagian integral dari sebuah negara kesatuan yang berbicara tentang martabat bangsa dan kedaulatan nasional.
Dia menegaskan, dalam pergaulan antar bangsa rujukan mendasar tentang kedaulatan wilayah udara sebuah negara adalah Konvensi Chicago.
"Dari awal tadi sudah saya sampaikan Konvensi Chicago yang merupakan kompilasi dari perkembangan sejak tahun 1700 itu memiliki satu military background dalam perspektif national security dalam artian bahwa banyak sekali negara merasa terganggu apabila dia tidak memegang command and control di wilayah udara kedaulatannya," kata Chappy.