TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan pemerintah provinsi Banten terkait ancaman gempa bumi dan tsunami yang berpotensi terjadi di wilayah tersebut.
Salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami adalah Kota Cilegon.
“Letak Cilegon yang berada di ujung barat pulau Jawa, di tepi Selat Sunda selain strategis juga memiliki risiko bencana yang cukup besar jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi dan tsunami,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati usai Rakor bersama Pemprov Banten dan Kabupaten/Kota se-Provinsi Banten, Rabu (16/2/2022).
Dwikorita mengatakan, selama ini Cilegon dikenal sebagai kota industri lantaran banyaknya industri penting di kota tersebut.
Selain itu, kata dia, di Cilegon juga terdapat berbagai macam objek vital negara antara lain Pelabuhan Merak, Pelabuhan Cigading Habeam Centre, Kawasan Industri Krakatau Steel, PLTU Suralaya, PLTU Krakatau Daya Listrik, Krakatau Tirta Industri Water Treatment Plant, (Rencana) Pembangunan Jembatan Selat Sunda dan (Rencana) Kawasan Industri Berikat Selat Sunda.
Apabila terjadi gempa bumi kuat yang diikuti tsunami, lanjut Dwikorita, maka Kawasan Industri Cilegon ini menyimpan potensi bahaya berupa bencana kegagalan teknologi yang dapat menimbulkan kerugian berupa kerusakan infrastruktur, lingkungan, penyakit, cidera, bahkan kematian pada manusia.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Kamis, 17 Februari 2022: Waspada Hujan Lebat di 31 Wilayah
“Artinya, ada multi ancaman yang membahayakan masyarakat Kota Cilegon dan sekitarnya saat terjadi gempabumi kuat yang diikuti tsunami,” tuturnya.
Dwikorita menerangkan, sekurang-kurangnya terdapat 4 sumber potensi gempa bumi dan tsunami di area tersebut yaitu Zona Sumber Gempa Megathrust berstatus rawan gempabumi dan tsunami Zona Sesar Mentawai, Sesar Semangko, dan Sesar Ujung Kulon berstatus rawan gempa bumi dan tsunami Zona Graben Selat Sunda berstatus rawan longsor dasar laut yang dapat membangkitkan tsunami, dan Gunung Anak Krakatau yang mana jika terjadi erupsi juga dapat memicu tsunami.
Berdasarkan pemodelan yang dilakukan BMKG, lanjut Dwikorita, jika terjadi gempa yang bersumber di Zona Megathrust Selat Sunda, maka terdapat potensi gempa dengan kekuatan mencapai magnitudo 8,7.
Diperkirakan kawasan Cilegon akan terdampak guncangan mencapai skala intensitas VI-VII MMI, yang dapat menimbulkan kerusakan ringan, sedang, hingga berat.
Sementara gempa bumi dengan magnitudo maksimum 8,7 tersebut, maka potensi tsunami tertinggi diperkirakan mencapai 8,28 meter di sekitar kawasan Pelabuhan Merak (Kota Cilegon).
Hal ini dikarenakan posisi pelabuhan yang berada pada Teluk yang menghadap celah sempit (selat) berseberangan dengan Pulau Merak Besar, yang memungkinkan terjadinya amplifikasi/ penguatan gelombang tsunami di lokasi tersebut.
Adapun genangan tsunami diperkirakan mencapai jarak terjauh sekitar 1,5 km dari tepi pantai di Kelurahan Tegalratu, Kecamatan Ciwandan dan Kelurahan Warnasari, Kecamatan Citangkil di Kota Cilegon, yang merupakan kawasan dengan topografi landai.
“Bencana ikutan akibat gempabumi dan tsunami juga berpotensi terjadi di kawasan industri Cilegon, berupa kebakaran, sebaran zat kimia berbahaya, ledakan bahan kimia, ataupun tumpahan minyak,” kata Dwikorita.
Menurut Dwikorita, Pemprov Banten selama ini cukup responsif dalam menindaklanjuti rekomendasi yang disodorkan BMKG.
Termasuk di antaranya kesiapan Pemprov Banten untuk menerbitkan aturan terkait mitigasi gempa bumi dan tsunami di sepanjang daerah rawan.
Namun demikian, kata dia, perlu kolaborasi yang erat antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, swasta, dan masyarakat agar mitigasi yang dilakukan efektif dan tidak parsial.
Dwikorita menuturkan, sejumlah catatan yang diberikan kepada Pemprov Banten di antaranya, pengecekan jalur dan sarana evakuasi, pemasangan rambu, pemasangan sirine, penyusunan SOP bersama kawasan industri, dan penyusunan penetapan aturan (Pergub) terkait bangunan tahan gempa.
Selanjutnya, tambah dia, juga perlu dilakukan sosialisasi mitigasi gempabumi dan tsunami (ToT), simulasi gempa bumi dan tsunami, survei mikrozonasi, audit bangunan, penyiapan tempat evakuasi sementara (TES) dan tempat evakuasi akhir (TEA) dan pemasangan peralatan monitoring muka laut Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL).
“Dalam kurun waktu dua tahun masa Pandemi Covid-19 banyak rambu evakuasi yang sudah hilang. Perlu juga dicek kesiapan sarana dan prasarana yang ada di shelter. Apakah masih layak atau tidak dan sehingga perlu direvitalisasi kembali. Semua pihak harus dilibatkan, termasuk perusahaan-perusahaan di kawasan industri dan pengusaha hotel dan restoran di kawasan wisata,” ujarnya.(Willy Widianto)