Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana Prof Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan kerancauan terkait restitusi dalam putusan terdakwa tindak pidana rudakpaksa terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan.
Ia menjelaskan restitusi adalah suatu program yang ditujukan untuk membuat korban pulih sejauh mungkin.
Namun demikian, menurut dia, restitusi bukanlah hukuman atau alternatif pidana penjara atau denda.
Restitusi, kata Tuti, dan tidak bisa menggantikan pidana-pidana lain.
Restitusi adalah utang dari si pelaku kejahatan kepada korban yang telah menderita akibat perbuatan yang telah dilakukannya.
Untuk itu menurutnya ada kerancuan dalam putusan yang djatuhkan kepada Herry karena restitusi dibebankan kepada negara dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Dalam konteks tersebut, restitusi dal putusan hakim lebih bermakna sebagai kompensasi.
"Jadi kayaknya ada sedikit kerancuan dalam menggunakan istilah," kata Tuti dalam acara bertajuk Restitusi VS Kompensasi Bagi Korban Kekerasan Seksual yang digelar LPSK secara daring dan luring pada Rabu (23/2/2022).
Akan tetapi, lanjut dia, masih ada persoalan lain karena berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, pemberian kompensasi dibatasi hanya pada korban pelanggaran HAM berat dan terorisme.
Hal tersebut, lanjut dia, sudah dirumuskan dalam pasal 7 Undang-Undang 31 tahun 2014.
Namun demikian, kata dia, untuk korban tindak pidana kekerasan seksual memang diberikan hak untuk mengajukan restitusi.
Hal tersebut, lanjut dia, diatur dalam pasal 7A Undang-Undang 31 tahun 2014 dan diperkuat juga dengan pasal 59 ayat 2J dan juga pasal 71D dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang 23/2002 tentang perlindungan anak.
"Jadi mungkin di sini perlu ada perbaikan diktum atau bagaimana saya tidak tahu. Jadi (kerancuan) yang pertama penggunaan istilah," kata dia.