News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penjara di Rumah Bupati Langkat

Fakta Baru Kasus Kerangkeng Manusia Terbit Rencana, Ada 26 Bentuk Penyiksaan Untuk Penghuninya

Penulis: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Peranginangin. Penghuninya mengalami penyiksaan cukup mengerikan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah fakta baru terungkap terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Peranginangin.

Fakta-fakta tersebut terungkap berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM serta autopsi yang dilakukan pihak kepolisian terhadap jenazah yang dikubur di sekitar lokasi.

Para penghuni kerangkeng selain dipaksa bekerja juga kerap mengalami penyiksaan.

Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam menjelaskan kerangkeng tersebut dibuat pada 2010.

Awalnya penjara tersebut digunakan sebagai tempat pembinaan internal organisasi masyarakat yang dipimpin Terbit.

Hingga akhirnya kerangkeng itu dikenal masyarakat luas maupun pemerintah daerah sebagai tempat rehabilitasi hingga saat ini.

Mayoritas penghuninya, lanjut dia, berlatar belakang pengguna narkoba, laki-laki, dan kondisi ekonomi bawah.

Para penghuni, kata dia, diserahkan pihak keluarga atau pengurus kampung atau pihak lainnya kepada pengelola kerangkeng tanpa kesularelaaan penghuni.

Baca juga: Komnas HAM Beberkan Praktik Serupa Perbudakan di Kerangkeng Milik Bupati Langkat Terbit Rencana

Saat penyerahan penghuni disertai penandatanganan surat pernyataan bermaterai Rp 6000 yang menjadi penjamin pihak pengelola untuk melakukan pembinaan dan melepaskan kewajibannya dari dampak yang diakibatkan dari pembinaan tersebut seperti sakit atau kematian.

Pendirian kerangkeng tersebut, kata Anam, merupakan inisiatif dari Terbit sendiri sebagai pribadi dan pejabat publik.

Secara keseluruhan, kata dia, kondisi dalam kerangkeng yang berfungsi sebagai tempat rehabilitasi tidak dalam kondisi yang layak.

Berdasarkan pengamatan langsung tim Komnas HAM di kerangkeng milik Terbit, fasilitas penghuni kerangkeng di antaranya tempat tidur, laci, rak, toilet, dan lain sebagainya itu tidak layak.

Selain itu, kata dia, sanitasi toilet juga tidak layak dan kotor.

Baca juga: Komnas HAM Ungkap Praktik Kerja Paksa Penghuni Kerangkeng Langkat, Angkut Sawit Hingga Bangun Rumah

"Kami tidak menemukan standar atau metode pengelolaan rehabilitasi. Jadi memang kondisinya sangat parah, kondisi kerangkengnya sendiri secara fisik juga parah, juga metodenya tidak ada," kata Anam dalam konferensi pers yang disiarkan di kanal Youtube Komnas HAM RI pada Rabu (2/3/2022).

Praktik kekerasan pun menimpa para penghuninya.

Anam mengungkapkan ada sekitar 18 alat yang digunakan sebagai instrumen penyiksaan untuk penghuninya, temasuk cabai.

"Misalnya (penghuni kerangkeng) disuruh mengunyah cabai, terus disuruh menyembur ke temannya sendiri," kata Anam.

Selain itu, ditemukan juga palu dan tang sebagai alat penyiksaan.

Palu, kata Anam digunakan untuk memukul kaki penghuni.

Sedangkan tang, kata dia, digunakan untuk mencopot kuku penghuni kerangkeng.

Baca juga: Komnas HAM: Kerangkeng di Langkat Jadi Tempat Rehabilitasi Narkoba Tanpa Metode dan Pengobatan

Selain itu, kata dia, pihaknya juga mendapat informasi bahwa ada kerangkeng anjing yang juga digunakan sebagai alat penyiksaan atau memberikan sanksi kepada penghuni kerangkeng.

Selain itu, pengelola kerangkeng juga memanfaatkan hubungan senioritas antar penghuni kerangkeng sebagai alat penyiksaan.

"Jadi memang kondisi penyiksaan, kekerasan, dan merendahkan martabat memang terjadi," kata Anam.

Analis Pelanggaran HAM Yasdad Al Farisi menjelaskan alat-alat yang juga digunakan sebagai alat penyiksaan di antaranya selang, ulat gatal, daun jelatang, besi panas, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, rokok, korek, batako, alat setrum, kerangkeng, dan juga kolam.

Ia mengatakan terdapat beberapa istilah kekerasan dalam lingkungan kerangkeng yang dikenal oleh para penghuni yaitu mos, gantung monyet, sikap tobat, dua setengah kancing, dan juga dicuci.

Ia mengungkapkan ditemukan adanya pola kekerasan terjadi di beberapa konteks yakni terkait penjemputan paksa calon penghuni kerangkeng, periode awal masuk kerangkeng, adanya pelanggaran terkait aturan pengurus kerangkeng, melawan pengurus kerangkeng ataupun TRP, dan juga perilaku plonco senioritas di dalam penghuni kereng.

Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi, kata dia, seringkali terjadi pada saat periode awal masuk kerangkeng yakni di bawah satu bulan pertama.

"Terdapat minimal setidaknya 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap penghuni kereng," kata dia.

Hal tersebut antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke dalam kolam ikan, direndam, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau dengan istilah gantung monyet, dicambuk anggota tubuhnya menggunakan selang, mata dilakban, dan kaki dipukul menggunakan palu atau martil.

Selain itu, penghuni juga dipaksa tidur di atas daun jelatang atau ulat, dipaksa makan cabai, dan juga tindakan-tindakan kekerasan atau penyiksaan lainnya.

"Terhadap kondisi fisik akibat kekerasan ini menimbulkan bekas luka maupun luka yang tidak berbekas di bagian tubuh. Selain penderitaan fisik juga adanya dampak traumatis akibat kekerasan salah satunya sampai menyebabkan salah satu penghuni kerangkeng melakukan percobaan bunuh diri," kata Yasdad.

Temuan Komnas HAM tersebut sejalan dengan temuan Polda Sumut berdasarkan hasil autopsi dua mayat korban kerangkeng manusia.

Berdasarkan hasil autopsi, kedua jenazah yang makamnya telah dibongkar itu semasa hidupnya diduga benar-benar disiksa dan dianiaya di kerangkeng manusia milik Terbit Rencana.

"Artinya bahwa diindikasikan kedua korban yang sudah diekshumasi (bongkar kuburan) tersebut mendapatkan tindakan kekerasan di dalam kerangkeng," kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Hadi Wahyudi, Rabu (2/3/2022).

Hadi mengatakan, pihaknya belum bisa membeberkan hasil autopsi secara gamblang.

Dia menyebut pihaknya masih menyusun berkas hasil autopsi jenazah Sarianto Ginting dan Abdul Sidik.

Dia menyatakan hasil autopsi utuh akan disampaikan dalam waktu dekat.

"Bekas penganiayaan di bagian mana, nanti kita sampaikan pada saat nanti. Penyidik sudah melakukan pemberkasan," ucapnya.

Baca juga: Komnas HAM: Cabai Hingga Palu Jadi Alat Penyiksaan di Kerangkeng Langkat, Penghuni Coba Bunuh Diri

Sejauh ini polisi menyatakan tiga orang tewas akibat dugaan penganiayaan yang terjadi di kerangkeng milik Terbit Rencana.

Namun demikian, baru dua makam yang dibongkar yakni makam Sarianto Ginting dan Abdul Sidik.

Abdul Sidik tewas setelah sepekan lebih setelah ditahan.

Dia masuk ke kerangkeng pada 14 Februari 2019, meninggal 22 Februari 2019.

Sementara itu Sarianto Ginting (35), tewas setelah empat hari dikerangkeng.

Dia masuk ke kerangkeng sejak 12 Juli tahun 2021 dan tewas pada tanggal 15 Juli 2021.

Selain itu, korban tewas kerangkeng lainnya pria berinisial U terjadi pada tahun 2015 lalu.

Polisi belum mau membeberkan lebih lanjut soal U yang diduga korban tewas dianiaya.

Polda Sumut mengaku telah memeriksa lebih dari 70 orang saksi, termasuk anak kandung Bupati Langkat nonaktif, Dewa Peranginangin. (Tribunnews.com/ Gita Irawan/ Tribunmedan.com/ Fredy Santoso)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini