TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Pusat Ilumni FH Unpar (PP Ilumni FH Unpar) mengamati dinamika politik tanah air, terkait penambahan masa jabatan Presiden Republik Indonesia menjadi 3 periode melalui mekanisme Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketua Umum Ilumni FH Unpar, Dr. Samuel M P Hutabarat S.H., .M.Hum mengatakan, dalam beberapa minggu terakhir, isu konstitusional tersebut semakin menjadi keprihatinan publik ketika diperkuat kembali melalui tiga pernyataan pimpinan partai politik, yakni; Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
"Dari pernyataan-pernyataan yang muncul pada dasarnya berintikan adanya harapan masa jabatan Presiden saat ini diperpanjang hingga lebih dari lima tahun, yang terkait dengan penundaan Pemilu 2024. Secara singkat, hal ini menunjukkan adanya benang merah terhadap isu konstitusional yang sama yakni; penambahan masa jabatan Presiden," kata Samuel lewat keterangan pers yang diterima, Sabtu (5/3/2022).
Bertolak dari pengamatan terhadap kedua isu tersebut, PP Ilumni FH Unpar menyampaikan pernyataan sikap untuk menanggapi dinamika politik tersebut dengan berpegang pada komitmen terhadap negara demokrasi konstitusional.
"Pertama, reformasi politik dan ekonomi pada tahun 1998 yang ditandai dengan Amandemen terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, merupakan peneguhan kembali komitmen kita terhadap demokrasi dan negara hukum. Hal ini ditandai dengan meletakan prinsip kardinal demokrasi konstitusional, yakni; pembatasan masa jabatan Presiden. Dimana pembatasan masa jabatan Presiden menjadi upaya kita untuk mencegah munculnya kembali kekuasaan yang tidak terbatas," kata Samuel.
Baca juga: MPR RI Diminta Dengarkan Suara Rakyat Terkait Amandemen Masa Jabatan Presiden
Masa jabatan presiden diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 7.
Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Artinya, masa jabatan presiden ditetapkan maksimal dua periode. Untuk itu jika kita mendorong untuk menambah periode jabatan Presiden menjadi 3 Periode, maka itu berarti kita sudah melanggar nilai-nilai demokrasi dan konstitusi negara kita.
Kedua, penyelenggaraan pemilu secara demokratis dan berkala merupakan implementasi prinsip kedaulatan rakyat, dimana menjadi pilar fundamental negara hukum demokratis.
Oleh karena itu, wacana penundaan pemilu merupakan wacana yang mengenyampingkan prinsip kedaulatan rakyat dan tentunya wacana yang tidak demokratis.
Disamping itu juga, pemilu merupakan sarana penting dalam menjaga keseimbangan sirkulasi kepemimpinan nasional, serta sarana dalam menguji visi dan program calon Presiden dan Wakil Presiden, maupun calon legislator, agar selaras dengan tujuan berdirinya Republik Indonesia, dan aspirasi warga negara.
Pasal 22 E UUD Negara RI Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Dengan demikian jika terjadi penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden serta memperpanjang masa jabatan parlemen merupakan bentuk pelanggaran konstitusi dan merampas hak rakyat untuk mengunakan hak pilihnya setiap lima tahun.
Ketiga, berdasarkan data the Economist Intelligence Unit mengenai Democracy Index 2021, posisi Indonesia belum beranjak dari posisi sebelumnya yakni; tetap diklasifikasi sebagai negara flawed democracy.