News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Yusril Ihza Mahendra dan La Nyalla Gugat Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi

Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril Ihza Mahendra dan La Nyalla Mahmud Mattalitti mengajukan gugatan terhadap presidential threshold ke MK.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti mengajukan gugatan terhadap presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dikutip dari situs resmi MK, gugatan mereka teregister dengan nomor perkara 41/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022 dan tercatat pada Jumat (25/3/2022).

Dalam petitum gugatan, mereka meminta agar MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dalam pasal 222 UU Pemilu.

"Bahwa pokok permasalahan dalam Permohonan adalah Pasal 222 UU Pemilu, yang berbunyi: Pasal 222 UU Pemilu Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya," tulis permohonan gugatan tersebut seperti dikutip dari situs Mahkamah Konstitusi, Minggu (27/3/2022).

Ikut pula menandatangani permohonan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin.

Baca juga: Gugatan Ambang Batas Pencalonan Presiden Ditolak MK, Gatot Nurmantyo Langsung Diajak Gabung PKB

Menurut pemohon, meskipun telah terdapat 19 putusan pengujian Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945, hanya 3 putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan.

Sementara 16 sisanya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard).

Sehingga, pokok perkaranya tidak dipertimbangkan.

Jika pun dipertimbangkan, MK hanya menyatakan pertimbangan dalam Putusan 53/PUU- XV/2017 berlaku mutatis mutandis.

Maka itu, Yusril dkk mengaku hanya akan memaparkan alasan dari tiga perkara yang putusannya dipertimbangkan.

"Atas dasar tersebut, maka Para Pemohon hanya akan memaparkan batu uji dan alasan permohonan yang berbeda terhadap 3 permohonan yang pokok perkaranya dipertimbangkan," ujar pemohon.

Pemohon juga berargumentasi bahwa syarat presidential threshold malah bertentangan dengan sejumlah pasal UU Pemilu.

Yusril menyebut partainya dalam Pemilu 2019 meraih suara sebanyak 1.099.849 (satu juta sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus empat puluh sembilan) atau sebesar 0,79% (nol koma tujuh puluh sembilan persen) dari total suara yang telah ditetapkan KPU.

Baca juga: BREAKING NEWS: MK Tolak Gugatan Gatot Nurmantyo Soal Ambang Batas Pencalonan Presiden

Menurut Yusril, meski tak memenuhi syarat perolehan suara di parlemen, partainya memiliki hak untuk mengajukan calon presiden.

Hal itu sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Namun, hak tersebut kini dibatasi karena Pasal 222 UU Pemilu.

Menurut pihaknya, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Karena itu, ia menuntut Pasal 222 harus dihapus untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi masyarakat.

"Berdasarkan argumentasi di atas, maka jelas terlihat bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata pemohon.

Menurut pemohon, Pasal 222 lebih condong ke status quo yang tidak demokratis ketimbang kepada arus perubahan yang reformis.

Baca juga: Gatot Nurmantyo Siapkan Kontra Argumen dari Putusan-putusan MK Terdahulu Terkait PT 20%

Pasal 222 lebih menguntungkan parpol lama-terlebih dengan syarat hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dan akibatnya akan cenderung mempertahankan kekuasaan lama dan menutup peluang perubahan (reformasi).

"Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan," tegas pemohon.

Karena itu, pasal 222 harus dihilangkan untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi rakyat pemilih, yang lebih sesuai dengan esensi pemilihan presiden langsung oleh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 6A UUD 1945, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Pemohon demikian dikutip dari berkas gugatan.

Kuasa hukum dari gugatan ini adalah 13 advokat dan konsultan hukum dari kantor Indrayana Centre for Government Constitution and Society (INTEGRITY) Law Firm. Denny Indrayana menjadi salah satu anggota kuasa hukum.

MK sendiri sebelumnya sudah menolak sejumlah permohonan judicial review presidential threshold dengan alasan pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional.

Beberapa gugatan yang ditolak di antaranya yang diajukan oleh Lieus Sungkharisma, Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra SH MH, Fahira Idris SE MH, Ferry Yuliantono, hingga gugatan yang diajukan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo.

Secara umum dalam putusannya MK tidak menerima gugatan para pemohon yang diajukan secara terpisah, seperti mantan Gatot Nurmantyo, Ferry Yuliantono, dan Fahira Idris dkk, karena tidak mempunyai legal standing.

Diketahui Fahira Idris menggugat bersama dua anggota DPD RI lainnya, Tamsil Linrung dan Edwin Pratama Putra.(tribun network/riz/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini