Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan melarang anggota TNI-Polri aktif menjadi penjabat (Pj) gubernur hingga wali kota selama masa transisi menuju Pilkada Serentak 2024.
Terkait itu, Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut keputusan itu sudah ditempatkan pada proporsinya.
"Putusan itu sudah meluruskan dan menempatkan duduk masalah pada proporsinya. Karena beda ranah, meskipun sama sama masalah manajerial," kata Abdul kepada Tribunnews.com, Sabtu (23/4/2022).
Abdul menyebut TNI-Polri dasar penempatan posisi jabata dan pengambilan keputusan itu dari pimpinan.
"Sedangkan pimpinan Pemerintahan Daerah (Gubernur, Bupati, Walikot dan sebagainya) dilakukan secara demokratis melalui Pemilu," ungkapnya.
Baca juga: Ketua DPR Soroti Ratusan Penjabat Kepala Daerah yang akan Diangkat Sebelum Pilkada Serentak 2024
Maka menurutnya, putusan MK itu sudah sesuai dengan koridor yang ada.
"Sehingga pengisian pejabatnya pun harus diisi oleh pejabat-pejabat hasil pemilihan," jelasnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review UU Pilkada.
Keputusan itu diantaranya tidak memperbolehkan anggota TNI-Polri aktif menjadi penjabat (Pj) gubernur hingga wali kota selama masa transisi menuju Pilkada Serentak 2024.
Prajurit TNI dan anggota Polri diperbolehkan menjabat jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari instansinya.
Meski begitu, MK memberikan sejumlah syarat bagi pemerintah menunjuk penjabat kepala daerah.
Diantaranya pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/20.