TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satgas Anti KKN CASN (Korupsi Kolusi Nepotisme Calon Aparatur Sipil Negara) Bareskrim Polri mencokok 30 orang yang terlibat kasus kecurangan seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) 2021.
Para tersangka yang terdiri dari 21 warga sipil dan 9 PNS itu ditangkap karena terlibat dalam kecurangan seleksi penerimaan ASN di seluruh wilayah Indonesia.
”Kasus kecurangan seleksi calon ASN tahun 2021, di sini sudah dilakukan penangkapan terhadap 21 orang sipil dengan 9 PNS yang terlibat dalam kegiatan kecurangan tersebut,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Gatot Repli Handoko kepada wartawan, Senin (25/4).
Pengungkapan kasus ini tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Baca juga: Polisi: Tes Calon ASN di Wilayah Banyak Kelemahan Pengawasannya
Khusus di Sulawesi Selatan, kecurangan penerimaan ASN terjadi di beberapa kota, yakni Makassar, Tana Toraja, Sidrap, Palopo, Luwu, dan Enrekang.
Adapun terkait modus yang digunakan para pelaku, Gatot menyebut mereka menggunakan remote akses, di mana perangkat komputer para calon ASN dapat dioperasikan oleh pelaku.
"Menggunakan aplikasi remote Access Zoho, kemudian menggunakan aplikasi remote access Chrome remote desktop, kemudian juga menggunakan remote access Radmin dan menggunakan remote access Ultra VNC," jelas Gatot.
"Kemudian juga menggunakan aplikasi remote access di DW service dan menggunakan juga aplikasi remote access Netop, dan yang terakhir menggunakan perangkat khusus yang dimodifikasi oleh para pelaku atau miss pay," tambah dia.
Kabagrenops Bareskrim Polri, Kombes M Syamsu Arifin menambahkan aplikasi remote access atau remote utilities adalah adalah perangkat yang dipakai peserta agar komputernya bisa diakses orang lain dari jarak jauh.
"Jadi dia merombak sistem. Jadi komputer yang digunakan untuk tes, dia masukin dengan aplikasinya. Sehingga dia bisa melakukan remote akses tadi, jarak jauh dia bisa menjawab," ungkap dia.
Aplikasi itu dipasang oleh tersangka dua hari sebelum tes diselenggarakan.
Kata Syamsu, para tersangka diduga bekerja sama dengan oknum PNS.
Aplikasi itu dipasang ke komputer peserta saat penjagaan petugas lemah.
"Jadi aplikasi tersebut dimasukkan dalam komputer peserta dua hari sebelum tes diselenggarakan, melalui petugas BKN, dan dilakukan saat penjagaan yang lemah," ungkap Arifin.
”Makanya Kemenpan RB mencari ada beberapa titik lokasi yang memang pengamanannya lemah,” imbuhnya.
Ia menuturkan bahwa peserta nantinya hanya tinggal berpura-pura mengerjakan soal. Nantinya, para pelaku yang mengerjakan soal dari jarak jauh.
”Sementara peserta yang duduk di meja itu dia hanya pura-pura saja, dia diarahkan peserta ini duduk di meja nomer satu misalnya. Dia hanya pura-pura, tapi yang menjawab di tempat lain," ujarnya.
Para tersangka sindikat kasus kejahatan dan kecurangan dalam seleksi penerimaan CASN 2021 ini memasang pasang tarif hingga Rp600 juta untuk meloloskan peserta.
Tarif itu harus ditebus setiap peserta jika mau dibantu diloloskan dalam seleksi penerimaan CASN 2021.
"Rata-rata para tersangka yang sudah dilakukan penangkapan, ada motivasi penggunaan uang atau uang suap dengan rentang Rp150 juta sampai Rp600 juta sehingga para pelakunya menjalankan modusnya," kata Syamsu.
Adapun cara para tersangka mencari korban yang mau memakai jasa curang seleksi CASN 2021 ini adalah berdasarkan kedekatan keluarga.
"Ada kedekatan dari keluarganya, dari keluarganya tersangka kemudian ada memang ada yang kenal gitu. Jadi mereka sindikat, dia mencari orang yang bisa dihubungi. Iya dari mulut ke mulut," ujarnya.
Dalam kasus ini, Bareskrim menyita komputer dan laptop sebanyak 43 unit, handphone 58 unit, flash disk 9 unit, dan DVR 1 unit.
Sementara sebanyak 359 calon ASN didiskualifikasi berdasarkan keputusan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Namun, masih ada 81 calon ASN yang belum didiskualifikasi karena masih harus berkoordinasi terlebih dulu dengan BKN.
Terhadap para pelaku yang telah diamankan, mereka semua telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 46 Juncto Pasal 30, Pasal 48 Juncto Pasal 32, dan Pasal 50 Juncto Pasal 34 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mereka terancam hukuman 12 tahun penjara."UU ITE 12 tahun penjara," kata Syamsu.(tribun network/igm/dod)