Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) akan mendesak Dewan Pers menyurati Mabes Polri jika proses pemeriksaan terhadap tiga jurnalis di Polda Kalimantan Timur tetap berlanjut.
AJI meminta Mabes Polri untuk mengevaluasi penyidik Polda Kaltim.
Ultimatum itu dilayangkan, karena menurut Ketua AJI Balikpapan Teddy Rumengan langkah penyidik Polda Kaltim telah mengabaikan Undang-Undang Pers.
"Jika pemanggilan terhadap jurnalis berlanjut, AJI akan mendesak Dewan Pers menyurati Mabes Polri untuk mengevaluasi para penyidik Polda Kaltim yang abai UU Pers," kata Teddy dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu (11/5/2022).
Tak hanya itu, AJI juga kata Teddy, mengingatkan agar perusahaan pers untuk tidak lepas tangan dengan melimpahkan tanggung jawab kepada jurnalis.
Adapun perkara yang dimaksud ini adalah terkait dengan rencana pemeriksaan yang dilakukan Polda Kaltim terhadap tiga jurnalis media online atas pemberitaan dugaan pemukulan pekerja di Kilang Minyak Balikpapan.
"Hak jurnalis menolak untuk membeberkan informasi tentang narasumber merupakan bentuk penghormatan kepada UU yang berlaku," ucap Teddy.
Baca juga: AJI Sesalkan Rencana Pemeriksaan yang Dilakukan Polda Kaltim Terhadap Tiga Orang Jurnalis
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyayangkan rencana pemeriksaan sejumlah jurnalis oleh Polda Kalimantan Timur (Kaltim) atas pemberitaan dugaan pemukulan pekerja di Kilang Minyak Balikpapan.
Setidaknya ada tiga orang jurnalis yang dipanggil polisi guna dimintai keterangan atau klarifikasi.
Mereka berasal dari media online Kompas.com, Prokal.co, dan Kaltim.idntimes.com.
Ketua AJI Balikpapan Teddy Rumengan melihat pemanggilan jurnalis tak perlu dilakukan.
Sebab kata dia, segala kekeliruan dalam pemberitaan bisa diselesaikan lewat mekanisme hak jawab.
"Sampaikan secara terbuka. Jika hak jawab tidak ditanggapi, silakan mengadu ke Dewan Pers," ujar Teddy.
Baca juga: Pria Kaltim yang Cabuli Pacar dan Merekamnya, Ternyata Korban dalam Kondisi Hamil 1,5 Bulan
Lebih lanjut, jika memang nantinya hak jawab dirasa tidak cukup, maka pihak yang dirugikan masih bisa menggunakan hak koreksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Teddy melihat jurnalis sebaiknya tidak dilibatkan dalam kasus aktif yang sedang ditangani kepolisian.
Terlebih dalam banyak kasus yang melibatkan pejabat negara atau korporasi atas tuduhan pencemaran nama baik atau SARA, jurnalis mudah tergelincir menjadi tersangka.
"Jurnalis tidak bisa sembarangan masuk ke pidana atau perdata. Penanganannya harus lewat Dewan Pers," tegas Teddy.
Menurut Teddy, polisi sebenarnya tidak perlu lagi memintai keterangan jurnalis.
Sebab keseluruhannya sudah terwakilkan lewat karya jurnalistik yang diterbitkan oleh masing-masing media.
Pada hakikatnya, jurnalis berkerja berdasar kebenaran fungsional.
Artinya, informasi yang didapat melalui wawancara.
Hasil penelahaan AJI, dalam perkara ini, berita-berita yang hendak diklarifikasi oleh Polda Kaltim juga sudah melewati proses verifikasi.
Beberapa tahapan itu mulai dari mengonfirmasi pihak-pihak terkait, serta penyuntingan di dapur redaksi masing-masing.
Baca juga: Direktur Kaltim Naga 99 Diperiksa dalam Kasus Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur
"Jadi, cukup gunakan saja karya jurnalistiknya, tidak perlu menghadirkan langsung jurnalis yang bersangkutan," kata dia.
Dia tidak sepakat jika jurnalis harus dihadirkan sebagai saksi di meja penyelidikan karena berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik ke depan.
Teddy mengingatkan jurnalis memiliki hak tolak yangturut tertuang dalam Pasal 4 UU Pers. Di mana dalam pasal itu disebutkan kalau hak tolak dapat digunakan apabila jurnalis dimintai keterangan penyidik atau menjadi saksi di pengadilan.
Atas adanya aturan itu, Teddy mengingatkan agar penyidik di Polda Kaltim menghormati hak tolak agar jurnalis tetap dapat bekerja secara independen dan imparsial, tanpa perlu merugikan narasumber.
"Hak tolak ini penting agar wartawan tidak diperalat untuk menjerat seseorang. Penyidik tidak perlu meminta keterangan, selain hal-hal yang sudah disiarkan," ucapnya.
Tak hanya itu, Teddy juga menyatakan kalau jurnalis tidak boleh memberikan keterangan untuk menjerat pihak manapun.
Hal itu diterapkan agar kehadiran jurnalis dapat tetap diterima oleh publik dan siapapun guna menjaga kepercayaan narasumber.
“Mengungkap siapa sumber informasi mereka, hanya akan mengurangi kepercayaan narasumber kepada jurnalis,” tuturnya.
AJI juga mengingatkan terkait Peraturan Dewan Pers Nomor 05/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan, dan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri tentang Koordinasi dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers.
Kronologi Kasus
Pada 21 Maret 2022, seorang pekerja subkontraktor di Kilang Minyak Balikpapan melaporkan kasus pemukulan yang menimpanya ke Polres setempat.
Bersama seorang rekannya, ia mengaku menjadi korban pemukulan di megaproyek pembangunan Kilang tersebut. Pelakunya seorang pekerja asal Korea Selatan.
Sehari berselang, perusahaan subkontraktor tersebut membuat pernyataan pers yang menyatakan persoalan sudah berakhir damai.
Namun, berselang enam hari kemudian, salah seorang pegawai dan kuasa hukum subkontraktor menggelar konferensi pers yang mengklarifikasi adanya insiden pemukulan seperti dilaporkan pelapor.
WNA Korea yang menjadi terlapor kemudian dipulangkan ke negaranya, sementara perusahaan subkontraktor tersebut memecat pelapor.
Selesai pemecatan, pihak perusahaan melaporkan pelapor ke Polda Kaltim atas tuduhan penyebaran berita bohong, seperti yang ditayangkan sejumlah media lokal Kaltim maupun nasional.
"Polda Kaltim kemudian memanggil jurnalis Kompas.com, IDN Times dan Prokal.co untuk meminta rekaman wawancara pekerja yang melaporkan kasus pemukulan ke Polresta Balikpapan," kata Teddy.