Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu RI) angkat suara soal penetapan lima warga negara Indonesia (WNI) diduga menjadi fasilitator keuangan kelompok teror Islamic State (ISIS) oleh Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC) Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS).
Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) Kemlu RI, Achsanul Habib mengatakan pada prinsipnya apa yang dikeluarkan prmerintah AS, yang merupakan non eksekutif order nomor 13224 adalah wilayah hukum AS.
"Posisi Indonesia, tentunya yang kita ikuti biasanya ketentuan dalam mekanisme multilateral PBB. Khususnya terkait sanksi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan, contohnya melalui resolusi 1267 maupun resolusi 1373," kata Achsanul dalam press briefing, Kamis (12/5/2022).
Ia mengatakan, AS memang menyatakan akan melakukan tindakan untuk membekukan aset maupun hak travel banned yang segera diberlakukan kepada 5 WNI tersebut.
Baca juga: Polri Sebut 3 dari 5 WNI yang Disanksi AS Karena Danai ISIS Terindikasi Berada di Suriah
Namun dalam konteks ini, menurutnya Indonesia akan mengikuti mekanisme yang dilakukan PBB.
Walaupun pihaknya memperoleh kabar bahwa AS juga akan membawa penetapan 5 terduga fasilitator ISIS tersebut melalui mekanisme PBB.
"Kita akan mengikuti apa yang dilakukan PBB. Kita memperoleh kabar, AS akan membawanya ke mekanisme PBB. Itu kita tunggu saja, apabila itu menjadi sebuah proses," ujarnya.
Baca juga: Polri Sebut 2 dari 5 WNI yang Disanksi Amerika Karena Danai ISIS Ternyata Eks Napi Teroris
Jika PBB menerima penetapan tersebut, Achsanul mengatakan Indonesia siap bekerjasama dengan PBB untuk memproses langkah selanjutnya.
Akan tetapi jika PBB menolak, Indonesia akan menjalankan proses hukum di dalam negeri kepada terduga, berdasarkan hukum dan ketentuan di dalam negeri.
Termasuk memastikan kebenaran individu yang dikelompokan dalam daftar terduga teroris maupun organisasi terlarang tersebut.
"Dalam kaitan ini, kita lihat apa proses ini akan menjadi keputusan PBB. Jika iya, tentu kita akan kerja sama dengan mekanisme PBB. Namun jika tidak, kita akan menjalankan proses di dalam negeri, berdasarkan hukum dan ketentuan di dalam negeri. Termasuk bagaimana kita memperoleh manfaat dari informasi pemerintah AS maupun pihak lain untuk kita tentukan aturan mainnya di dalam negeri sesuai ketentuan nasional," ujarnya.