TRIBUNNEWS.COM - Semenjak awal Mei lalu, banyak masyarakat yang mengeluhkan kondisi suhu udara yang tinggi.
Suhu udara tinggi tersebut dirasakan membuat gerah dan tidak sedikit masyarakat yang panik akan hal ini.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah menjelaskan bahwa kejadian suhu panas di Indonesia tidaklah dikategorikan sebagai gelombang panas seperti di India.
Hal itu karena tidak memenuhi definisi kejadian ekstrim meteorologis oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO) yaitu anomali lebih panas 5℃ dari rerata klimatologis suhu maksimum di suatu lokasi dan setidaknya sudah berlangsung dalam 5 hari.
Data dari BMKG, setidaknya 2 hingga 8 stasiun cuaca BMKG melaporkan suhu udara maximum >35℃.
Stasiun cuaca Kalimaru (Kaltim) dan Ciputat (Banten) bahkan mencatat suhu maksimum sekitar 36℃ berurutan beberapa hari.
Baca juga: Warga Ciputat Keluhkan Cuaca Panas: Dulu Sejuk, Sekarang Gerah Walau Malam
Baca juga: Fenomena Cuaca Panas Dapat Berpengaruh Pada Kesehatan Khususnya Perempuan
Fenomena tersebut memunculkan anggapan kejadian suhu harian yang tinggi di Indonesia sebagai akibat dari perubahan iklim.
Lantas apakah benar demikian? Bagaimana penjelasan BMKG terkait hal ini?
Dalam analisis klimatologi, sebagian besar lokasi-lokasi pengamatan suhu udara di Indonesia menunjukkan dua puncak suhu maksimum, yaitu pada bulan April/Mei dan September.
Hal itu memang terdapat pengaruh dari posisi gerak semu matahari dan juga dominasi cuaca cerah awal atau puncak musim kemarau.
Sirkulasi massa udara memicu tertahannya masa udara panas di atas sebagian wilayah Sumatera dan Jawa sehingga mengamplifikasi Mei yang panas.
Suhu udara akan terkesan sumuk atau gerah saat udara memiliki tingkat kelembapan yang tinggi.
Sedangkan cuaca akan terasa terik dan membakar jika udara tersebut bersifat kering atau memiliki tingkat kelembapan yang rendah.
Baca juga: Gelombang Panas: India Catat Rata-rata Suhu Tertinggi Sejak 122 Tahun, di Pakistan Capai 47 Derajat
Baca juga: Suhu Udara Capai 36,1 Derajat Celcius, Berikut Penjelasan BMKG soal Cuaca Panas di Indonesia
Soal dikaitkannya dengan perubahan iklim, menurut BMKG hal itu tidaklah salah, namun juga tidak dibenarkan sepenuhnya.
Menurut BMKG, perubahan iklim harus dibaca dari rentetan data iklim yang panjang, tidak hanya dari satu kejadian.
Tren kejadian suhu panas dapat dikaji dalam series data yang panjang apakah terjadi perubahan polanya baik magnitudo panasnya maupun keseringan kejadiannya.
Analisis pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir menunjukkan peningkatan suhu permukaan dengan laju yang bervariasi.
Secara umum trend kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
"Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami trend kenaikan >0.3℃ per dekade," ungkap BMKG dalam unggahan di Instagram @infobmkg.
"Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi diketahui terjadi di Stasiun Meteorologi Temindung, Kalimantan Timur (0.95℃ per dekade), sedangkan laju terendah terdapat di Stasiun Meteorologi Sultan Muhammad Salahuddin, Bima (0.01℃ per dekade)."
"Suhu udara permukaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya meningkat dengan laju 0.40 - 0.47℃ per dekade," lanjut BMKG.
Berdasar analisis tersebut, BMKG menyatakan kejadian suhu udara panas kali ini memang dipengaruhi oleh faktor klimatologis yang diamplifikasi oleh dinamika atmosfer skala regional dan skala meso.
Inilah yang menyebabkan udara terkesan menjadi lebih sumuk dan kemudian menimbulkan pertanyaan bahkan keresahan (selain kegerahan) publik.
BMKG meyakinkan, kondisi ini bukanlah termasuk kondisi ekstrem yang membahayakan seperti gelombang panas.
(Tribunnews.com/Tio)