Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Riset aksi holosentrik diharapkan menjadi inovasi pendekatan dalam mengatasi kasus-kasus ledakan hama yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Riset tersebut juga mendorong lahirnya kerja sama pemerintah, peneliti dan petani dalam kerangka kerja kolaboratif dengan berorientasi pada pemecahan masalah-masalah pertanian di lapangan.
Demikian dikatakan Profesor Hermanu Triwidodo dalam orasi ilmiah berjudul Riset Aksi Holosentrik untuk Mengatasi Ledakan Hama pada penetapan guru besar IPB yang dibacakannya pada konferensi pers di Bogor, Kamis (19/05/2022).
“Karenanya riset aksi holosentrik bisa menjadi prototype riset untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia,” lanjut Hermanu.
Institut Pertanian Bogor (IPB) juga diharapkan bisa menjadi institusi pendidikan yang mendorong riset aksi holosentrik ini sebagai solusi dalam memecahkan kebuntuan sektoralisme pada program pembangunan pertanian di Indonesia yang selama ini masih menggunakan pendekatan teknosentrik.
Baca juga: Soal PMK, IPB Dukung Kementan Penanganan Cepat dan Tepat
Sebagai peneliti yang bergelut secara langsung di lapangan bersama petani selama lebih dari tiga dekade, Hermanu melihat pendekatan teknosentrik masih menjadi pendekatan utama dalam melihat permasalahan pertanian.
Ia mengatakan teknosentrik merupakan pendekatan yang digunakan dan menjadi dasar dari revolusi hijau.
Implementasi pendekatan ini, kata dia, dilakukan dengan menerapkan paket teknologi yang dikembangkan oleh pusat kepakaran dengan cara pikir linier.
Di sini, petani, kata Hermanu, hanya ditempatkan sebagai pengguna dari teknologi yang diproduksi oleh pusat kepakaran (center of excellence). Dalam hal ini, lanjutnya, permasalahan di lapangan didokumentasikan, dibawa dan diteliti hingga mendapatkan kesimpulan dan teknologi yang siap untuk diterapkan oleh para petani.
“Pada pendekatan ini penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimiawi sintitek menjadi satu hal penting. Pendekatan ini secara nyata memiliki kelemahan dan memunculkan situasi gagal dengan terjadinya ledakan hama wereng coklat dan penggerek batang putih,” tutur pria kelahiran Tulungagung, 65 tahun silam ini.
Dalam penerapan riset aksi Holosentrik, Hermanu menjelaskan peneliti tidak lagi mengambil jarak dengan petani, melainkan bersama petani untuk melakukan kajian. Di sinilah, kata dia, membuka ruang dan kesempatan kepada semua pihak untuk berkontribusi dalam upaya penyelesaian masalah secara konstruktif.
“Riset aksi Holosentrik dalam pengelolaan hama memungkinkan peneliti dan petani menciptakan inovasi baru dari proses belajar bersama. Hal ini berbeda dengan pendekatan teknosentrik yang menempatkan petani sebagai pengguna dari teknologi yang dirancang oleh sumber pakar. Di sini, kontribusi peneliti dalam pendekatan holosentrik adalah keterlibatan secara kolaboratif untuk menghasilkan solusi secara langsung tanpa menunggu publikasi ilmiah,” ujarnya.
Hermanu juga menjelaskan salah satu implementasi dan instrumen dari pendekatan riset aksi holosentrik ini adalah laboratorium lapang. Laboratorium lapang ini, kata dia, menjadi media tumbuh dan berkembang terhadap proses pembelajaran manusia dengan rasionalitas komunikatif.
“Pada laboratorium lapang ini terlihat bahwa komunikasi menjadi lebih efektif. Antara peneliti dan petani tidak ada lagi jarak sebagaimana pada model teknosentrik,” ujarnya.
Baca juga: Akademisi IPB: Produktivitas Padi Indonesia Peringkat Kedua di Asia
Dalam penelitian yang dikembangkannya, Hermanu melihat hamparan sawah tidak hanya dipandang secara fisik tetapi juga ‘soft side of land’. Ia melihat adanya potensi tersembunyi dari pengalaman dan kearifan petani, keanekaragaman biologi dengan berbagai tingkatan dan fungsinya.
“Selama saya melakukan penelitian ini, interaksi unsur-unsur sistem lingkungan dan sistem sosial dengan nyata mempengaruhi dan menentukan hasil panen, bahkan interaksi berbagai pemangku kepentingan ini juga menentukan. Hal ini ditunjukkan dalam pendayagunaan musuh alami, lampu perangkap hama, pengumpulan kelompok telur yang melibatkan aparat desa hingga anak-anak sekolah yang menekan serangan penggerek padi,” jelas ayah dua anak ini.
Laboratorium lapangan yang didirikan di Desa Panyingkiran, Kabupaten Karawang, menjadi salah satu penanda penelitian dengan pendekatan holosentrik yang telah dilakukan oleh Hermanu bersama para peneliti lainnya.
Selain itu, Safari Gotong Royong yang pernah dilakukan pada tahun 2007 dengan menjangkau 24 kabupaten di Pulau Jawa menjadi wujud nyata dari pengembangan melalui pendekatan riset aksi holosentrik ini.
Baca juga: Anggota DPR Desak Pemerintah Beri Insentif untuk Petani Sawit
“Kegiatan Safari Gotong Royong ini menjadi bentuk lain dari laboratorium lapangan. Semangat yang dibangun dalam safari gotong royong adalah mengajak bersama-sama mengembangkan pertanian rasional, memadukan pengalaman petani dengan pengetahuan peneliti dan mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam penerapannya,” kata Hermanu.
Hermanu juga menyarankan agar IPB bisa menjadi pioner untuk mengkolaborasikan riset aksi holosentrik ini dengan sistem insentif yang setara dengan dua dharma perguruan tinggi lainnya, yakni pendidikan dan penelitian.
Selama ini, kata dia, IPB sudah merintis berbagai program dan kegiatan seperti Dosen Mengabdi, Dosen Pulang Kampung, IPB Quick Respons, sayangnya sistem insentif yang kaitannya dengan BKD dan SIJ serta syarat kenaikan pangkat masih belum tertata dengan baik.
“Terkadang juga prasyarat penerima hibah dana kegiatan tersebut kurang pas dan kontra produktif. Misalnya jangan sampai apa persyaratan untuk mendapatkan dana dosen pulang kampung adalah harus menghasilkan publikasi bertaraf internasional. Di sinilah IPB bisa menginisiasinya untuk menjadi lebih baik dan utamanya bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa benar-benar kembali dan memberikan solusi buat pertanian menjadikan petani Indonesia merdeka” kata Hermanu.