Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan kata "perkosaan" dalam pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dirasa perlu dilakukan reformulasi atau perumusan ulang.
Sebab, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo, definisi yang disebutkan dalam pasal tersebut sangat sederhana dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan, pengembangan konsep Hak Asasi Manusia (HAM), dan perkembangan hukum pidana.
Harkristuti mengatakan sudah banyak negara yang melakukan perubahan terhadap definisi perkosaan yang tadinya hanya disebut sebagai common law definition.
"Apa arti persetubuhan? Artinya harus ada penetrasi alat reproduksi laki-laki ke dalam alat reproduksi perempuan. Itu sangat menyederhanakan," jelas Harkristuti, Rabu (25/5/2033).
Sehingga, pengertian yang terlalu sederhana tersebut haruslah direvisi dan direformulasi.
Ada tiga hal penting yang dipaparkan oleh Harkristuti terhadap reformulasi "perkosaan" dalam Pasal 258 KUHP.
Baca juga: Kasus Perkosaan dan Pemaksaan Aborsi Tak Diatur di RUU TPKS, Menteri PPPA Angkat Suara
Pertama, gender neutral. Di mana dalam pasal tidak menyebutkan gender dari pelaku maupun korban.
Hal ini disebabkan karena dari berbagai penelitian, menunjukkan perkosaan terjadi dan dilakukan juga oleh perempuan kepada laki-laki pun perkosaan terhadap sesama jenis gender.
Kedua, persetubuhan. Menurut Harkristuti perbuatan perkosaan tidak bisa hanya dirumuskan sebagai persetubuhan yang secara tradisional diartikan hanya berupa penetrasi terhadap alat kelamin laki-laki pada alat kelamin perempuan.
Kemudian poin ketiga berkaitan dengan perkawinan. Perkawinan kini tidak lagi menjadi salah satu alat pembatas bahwasanya jika perkosaan dilakukan dalam perkawinan maka itu tidak termasuk perkosaan seperti yang tertulis dalam pasal 285 KUHP bahwa "Barangsiapa dalam kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, artinya kalau dalam perkawinan boleh-boleh saja," ucapnya.