News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Forum Sinologi: Etnis Tionghoa Berakar Budaya Indonesia, Tak Lagi Terikat Tanah Leluhur

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua sekaligus pendiri Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto

Namun kedua negara pada akhirnya menemukan solusi atas permasalahan di atas pada tahun 1955, melalui penandatangan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian dwikewarganegaraan.

Dalam pandangan Johanes, penandatanganan di atas terkait erat dengan perubahan sikap Beijing terhadap orang Tionghoa perantauan, sebagai diungkapkan oleh Profesor Suryadinata dalam buku berjudul The Rise of China and The Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond.

Jika sebelumnya China menganggap semua Tionghoa perantauan sebagai warganya, maka sejak 1955 Beijing mendorong Tionghoa peranakan untuk berintegrasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal.

Sikap China di atas dipertegas kembali pada tahun 1980, ketika Beijing menerbitkan sebuah undang-undang kewarganegaraan, yang secara tegas melepaskan pengakuan Cina atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing.

Dalam hal Tionghoa Indonesia, perjanjian dwikewarganegaraan di atas segera dilaksanakan beberapa tahun sejak penandatanganan perjanjian itu.

“Namun berdasarkan catatan Profesor Leo Suryadinata, hingga awal tahun 1970 an, baru dua perlima dari orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia,” tegas Johanes.

Jumlah etnik Tionghoa yang beralih menjadi Warga Negara Indonesia meningkat pada dasawarsa 1980 an, seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no 13/1980 yang memberi kemudahan bagi orang Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan asing untuk mengajukan diri menjadi warga negara Indonesia.

Sebagai hasil dari percepatan proses naturalisasi di atas, maka seluruh orang Tionghoa Indonesia dewasa ini adalah sepenuhnya Indonesia, baik secara kewarganegaraan maupun identitas budaya.

Menurut Johanes, generasi yang didominasi oleh orang Tionghoa yang lahir atau tumbuh dewasa di zaman pemerintahan Orde Baru itu tidak memiliki memori mengenai Cina sebagai ‘tanah leluhur.’

Bagi mereka Indonesia adalah tanah air mereka. Oleh karenanya, Johanes berpendapat bahwa kecenderungan mencampuradukkan antara Tionghoa dan Cina seyogianya sudah dianggap usang dan harus ditinggalkan.

Namun demikian, dalam pandangannya, kembalinya minat Cina pada urusan terkait Tionghoa di luar Cina dalam satu dasawarsa terakhir ini berpotensi melanggengkan kembali kecenderungan usang di atas.

“Menurut Profesor Suryadinata, minat ini muncul kembali karena kepemimpinan Cina masa kini menganggap Tionghoa di luar Cina sebagai aset bagi negara mereka,” papar Johanes.

Sebagai contoh, dalam pidatonya di tahun 2014, Presiden Xi Jinping menyebut seluruh etnik Tionghoa sebagai “putra dan putri bangsa Cina” (Zhonghua Ernu), “saudara sebangsa dari seberang lautan” (haiwai qiaobao), dan “anggota dari keluarga besar bangsa Tionghoa” (zhonghua dajiating).

Khusus terhadap Tionghoa Indonesia, Pemerintah China, melalui perwakilannya di Indonesia, seringkali menghimbau agar Tionghoa berperan sebagai jembatan bagi hubungan Indonesia dan China.

Johanes berpendapat bahwa upaya RRC untuk mendekati baik orang Tionghoa maupun masyarakat Indonesia lainnya perlu dipahami dalam konteks ekspansi ekonomi China, yang dibarengi dengan diplomasi budaya untuk menanamkan kuasa lunak (soft power)-nya.

Karenanya, penting bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, termasuk etnik Tionghoa, untuk menentukan sikap yang paling tepat dalam konteks di atas.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini