Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah korban dugaan penipuan investasi bodong dalam bentuk obligasi melapor ke Bareskrim Polri.
Para korban mengaku mengalami kerugian mencapai Rp 52 miliar akibat investasi bodong tersebut.
Adapun laporan itu terdaftar pada nomor STTL/187/VI/2022/BARESKRIM tanggal 20 Juni 2022. Jumlah korban yang melapor ke Bareskrim Polri mencapai 12 orang.
"Jadi kerugian daripada 12 para korban kurang lebih Rp 52 miliar," kata kuasa hukum korban dari LQ Indonesia Law Firm, Saddan Sitorus di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (20/6/2022) malam.
Dijelaskan Sitorus, korban melaporkan sejumlah petinggi dari UOB Kay Hian Sekuritas.
Beberapa di antara yang dilaporkan adalah Yacinta Fabiana Tjang selaku Direktur Utama (Dirut), Ahmad Fadjar Siata selaku Direktur PT UOB Kay Hian Sekuritas, dan Wee Ee Chao selaku Komisaris Utama PT UOB Kay Hian Sekuritas.
Baca juga: Berkas Perkara Investasi Bodong Kebun Singkong dan Aren di Riau Dinyatakan Lengkap
Sementara itu, Saddam mengatakan para terlapor diduga melakukan penipuan, penggelapan hingga tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Jadi atas laporan ini kami menduga bahwa nama-nama yang terlapor tadi telah melakukan tindak pidana dengan dugaan tindak pidana penipuan Pasal 378 penggelapan Pasal 372 dan tindak pidana pencucian uang pasal 3,4,5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010," jelasnya.
Lebih lanjut, Saddan menjelaskan bahwa terlapor menawarkan produk dalam bentuk kupon obligasi.
Baca juga: Dibongkarnya Investasi Bodong oleh Bareskrim, Dapat Tingkatkan Perlindungan Investor
Namun, di tengah perjalanan ternyata investasi obligasi tidak sesuai dengan perjanjian awal.
"Jadi adapun produk yang mereka tawarkan adalah yang pertama mereka menawarkan produk kupon dari obligasi. Sementara awalnya yang perlu kami klarifikasi adalah para klien kami yang 12 orang ini pertama ditawarkan produk sekuritas, namun dalam perjalanannya ternyata obligasi, investasi obligasi," ujarnya.
Menurutnya, ada ketidaksesuaian produk kupon obligasi tersebut dengan manfaat investasi.
"Sehingga memang ada ketidaksesuaian. Begitu pun terkait keberadaan kupon ini seperti manfaat investasi. Jadi benefit yang didapatkan dari hasil produk yang ditawarkan ini per enam bulan itu mendapat manfaat dari investasi itu," katanya.