TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah, menyatakan pihaknya merasa heran karena masih saja ada pihak atau individu yang mendebatkan soal hari lahir Pancasila.
Padahal Pemerintah sudah menetapkan 1 Juni sebagai Peringatan Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016.
Keppres tersebut melengkapi dokumen kenegaraan Keppres Nomor 18 Tahun 2008 yang menetapkan 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi.
Hal itu disampaikan oleh Basarah, yang kerap dipanggil sebagai “Doktor Pancasila” itu, saat menjadi pembicara dalam Seminar Peringatan Hari Lahir Pancasila di Universitas Pertahanan (Unhan) dengan tema "Implementasi Pancasila untuk Memperkokoh Nasionalisme dan Bela Negara pada Civitas Akademika Perguruan Tinggi", Rabu (29/6/2022).
Baca juga: Pimpinan MPR RI Dukung Misi Perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Sebagai pembicara kunci di seminar itu adalah Rektor Unhan Laksdya TNI Prof. Amarulla Octavian dan narasumber lainnya adalah Guru Besar Unhan Prof. Pribadiyono.
Sementara Doktor Ilmu Pertahanan, Hasto Kristiyanto, menjadi moderator acara.
Basarah menjelaskan Pancasila telah berfungsi sebagai dasar falsafah negara, ideologi negara dan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan perjanjian luhur para pendiri bangsa serta pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk ini.
“Namun ironinya masih ada saja perdebatan di tengah masyarakat kita soal penepatan kapan hari lahirnya Pancasila,” tambah Basarah.
Hal itu bisa dipahami karena memang jauh sebelum Presiden Jokowi menetapkan hari lahirnya Pancasila, Pancasila disebut lahir tanggal 18 Agustus 1945.
Padahal sudah Keputusan Presiden nomor 18 tahun 2008 yang menetapkan tanggal 18 Agusutus 1945 sebagai Hari Konstitusi.
Menurut Basarah, argumentasi Pancasila ditetapkan 18 Agustus 1945 adalah karena pada saat itu PPKI menetapkan UUD 1945 dan dalam pembukaan UUD 1945 sudah terdapat sila-sila Pancasila.
Padahal disepakatinya rumusan sila-sila Pancasila tersebut bukanlah kesepakatan pendiri bangsa yang tiba-tiba tetapi merupakan proses panjang sebelumnya sejak Pidato 1 Juni 1945 Bung Karno di depan sidang BPUPK.
Itu juga pernah mengalami perkembangan dalam rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang diketua Bung Karno dan barulah mencapai kesepakatan final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga diketuai oleh Bung Karno.
“Jika Pancasila dipahami proses pembentukannya secara parsial dan tidak utuh menyeluruh maka akan banyak menimbulkan distorsi sejarah Pancasila. Misalkan saja akan muncul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui bahwa kelima sila dalam Pambukaan UUD 1945 itu bernama Pancasila? Karena tidak ada satu pun kata Pancasila dalam pembukaan UUD, kita lihat alinea pertama, kedua, ketiga dan keempat, tidak ada kata Pancasila,” ujar Basarah.
“Berikutnya, bagaimana kita dapat memahami filosofi sila-sila Pancasila itu sesuai maksud para pembentuk Pancasila dan para pendiri bangsa? Kalau kita mengacu kelahiran Pancasila hanya pada 18 Agustus 1945 maka resikonya bangsa Indonesia akan memahami nilai-nilai Pancasila tersebut menurut selera masing-masing. Tidak ada panduan dalam memahami falsafah bangsa yang terkandung dalam Pancasila,” urai Basarah.
Padahal, lanjutnya, kelima sila Pancasila bukan kalimat mati atau satu ideologi dogmatis seperti komunisme.
Demikian juga kalau dimaknai sebagai ideologi terbuka, tapi tidak bersifat bebas ditafsirkan sekehendaknya.
Pancasila adalah ideologi yang terbuka dan dinamis, dimana nilai-nilai dapat terus mengikuti perkembangan jaman oleh setiap generasi bangsanya namun makna falsafah dasarnya harus tetap berpedoman pada maksud pembentuk Pancasila dan para pendiri bangsa.
Contoh penafsiran Pancasila yang bebas itu seperti ada yang mengatakan bahwa sila-sila Pancasila membolehkan warga negara Indonesia menjadi atheis.
Sementara penafsiran lainnya ada yang menyatakan bahwa agama yang sesuai dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila hanya Islam saja. Pendapat bebas lainnya menyatakan bahwa roh Pancasila itu adalah NKRI Bersyariah.
“Untuk menjawab perdebatan seperti itu maka pendekatan historis dan hermeneutika sangatlah penting,” kata Basarah.
Baginya, pemahaman sejarah Pancasila yang bersumber dari maksud para pendiri bangsa adalah metode dan pedoman bangsa Indonesia dalam memahami makna falsafah yang terkandung dalam setiap sila Pancasila.
“Jadi bukan pemahaman yang dimaksud oleh rezim tertentu, suatu golongan tertentu, atau kelompok tertentu atau individu,” tukas Basarah.
Basarah juga menekankan, untuk jadi satu ideologi yang hidup di tengah bangsanya, Pancasila setidak-tidaknya memiliki 3 syarat. Syarat pertama adalah Pancasila harus diyakini rasionalitas kebenarannya.
“Bangsa Indonesia seluruhnya meyakini bahwa nilai-nilai Pancasila adalah seperangkat nilai-nilai kebenaran. Oleh karenanya nilai-nilai kebenaran itu diyakini dapat mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia sampai pada tujuan bernegaranya,” urai Basarah.
Kedua, setelah diyakini, kemudian harus dihayati dan dipahami. Agar bisa mencapainya, tentu harus mempelajari Pancasila seutuhnya sesuai yang dirumuskan dan disepakati oleh pendiri bangsa.
“Kalau Pancasila sudah diyakini rasionalitasnya, bangsa Indonesia mempunyai believe, kepercayaan, memiliki keyakinan dan kemudian dipelajari, dipahami dan dihayati, barulah Pancasila kemudian dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, dengan demikian Pancasila akan menjadi ideologi yang hidup dan bekerja di tengah-tengah masyarakatnya sendiri,” beber Basarah yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan tersebut.