News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rancangan KUHP

Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad: RKUHP Tak Boleh Lepas dari Prinsip Demokrasi

Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tangkapan layar webinar Distensif 3.0: Mengulik RKUHP dalam kanal Youtube BEM Kema UNPAD, Sabtu (16/7/2022).

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti memahami bahwa RKUHP berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana.

Namun, menurutnya ketentuan tersebut tak boleh terlepas atau boleh berdiri sendiri.

"Artinya apa? Tidak memedulikan prinsip-prinsip atau asas-asas yang ada di dalam negara kita di dalam UUD 1945. KUHP tak boleh terlepas dari prinsip demokrasi," kata Susi dalam webinar Distensif 3.0: Mengulik RKUHP yang tayang di kanal Youtube BEM Kema UNPAD, Sabtu (16/7/2022).

Baca juga: Polisi Sebut Ada 600 Mahasiswa yang Ikut Demo Revisi UU KUHP di Gedung DPR Hari Ini

Dia memberi contoh soal pasal penghinaan terhadap presiden.

Susi khawatir jangan-jangan pasal tersebut memperlihatkan konsep negara integralistik.

"Padahal kita ini kan menganut demokrasi, dimana presiden dipilih langsung oleh rakyat, yang mana menurut Wamenkumham ditempatkan sebagai primus inter pares," kata Susi.

Menurutnya, istilah tersebut yang diartikan sebagai anak bangsa terbaik dari yang baik adalah keliru.

Pasalnya, dalam sistem presidensil hal tersebut kurang tepat kecuali menganut sistem parlementer.

"Oleh karena itu, karena KUHP sifatnya koersif maka rakyat harus diberi waktu yang wajar untuk bisa memprediksi sejauh mana koersivitas negara itu, dan itu harus dilakukan melalui prosedur yang benar yang melibatkan apa yang disebut meaningful participation atau partisipasi yang bermakna yang sufsh ada di putusan MK mengenai ujian formil UU Ciptaker, yakni hak untuk didengar, hak untum dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan," kata dia.

Dia menyarankan baik pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang harus membuka kembali ruang untuk membahas pasal-pasal yang bermasalah tersebut.

Penjelasan Pemerintah

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej mengatakan bahwa pasal penghinaan presiden tidak akan dihapus dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Tidak akan kita hapus. Tidak akan. Intinya kita begini, ya, tidak akan mungkin memuaskan semua pihak," kata Eddy di Kompleks ParlemenSenayan, Jakarta, Selasa (28/6/2022)

Dia pun mempersilakan pihak yang masih keberatan dengan hasil RKUHP untuk menempuh jalur hukum.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM itu membantah bahwa pemerintah antikritik karena adanya ancaman pidana terkait penghinaan terhadap presiden di RKUHP.

"Itu orang yang sesat berpikir. Dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik," kata dia.

Dia pun meminta agar orang yang menganggap pemerintah antikritik untuk membaca kembali pasalnya

"Dibaca enggak, kalau mengkritik tidak boleh dipidana. Kan ada di pasalnya. Jadi apa lagi? Jadi yang mengatakan penghinaan sama dengan kritik itu mereka yang sesat pikir, yang tidak membaca," kata dia.

Eddy menyebut pasal tersebut tak bisa dirujuk ke negara lain.

Dia menjelaskan bahwa penghinaan di Indonesia merupakan mala in se atau perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat, bukan karena dilarang oleh UU.

"Berbeda dengan negara lain. Mereka meletakkan penghinaan itu sebagai mala prohibita. Dari segi konsep itu saja sudah berbeda," tandasnya.

Isu yang Mengemuka

Diketahui ada 14 isu yang dinilai unsur sipil bermasalah dalam RKUHP.

Ke-14 isu krusial yang dimaksud yakni hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law),  pidana mati, penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, contempt of court, unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih.

Lalu ada juga pasal soal advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, gelandangan, pengguguran kandungan, perzinaan, kohabitasi, dan pemerkosaan.

Saat ini RKUHP tengah dibahas di DPR. 

Sejumlah elemen masyarakat telah menyampaikan protes atas RKUP ini karena dianggap mengekang kebebasan sipil.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini