News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Pengamat Minta Publik Waspadai Tsunami Informasi Media Sosial di Kasus Brigadir J

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Brigadir J menjadi korban tewas, disebut Mabes Polri seusai baku tembak dengan Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo. Pengamat sosial menilaiinformasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J. Publik harus mewaspadai hal itu.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus penembakan sesama anggota polisi antara Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan Bharada RE (E) terus menjadi sorotan publik.

Berbagai informasi pun beredar di media sosial, bahkan tak terbendung tanpa disertakan bukti maupun data terkait peristiwa baku tembak di rumah dinas Kavid Propam non-aktif Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta pada Jumat (8/7/2022).

Untuk itu, publik harus mewaspadai tsunami informasi terkait kasus Brigadir J.

Baca juga: Brigadir J Curhat ke Vera Simanjuntak: Tak Pernah Ceritakan Hal Jelek Keluarga Irjen Ferdy Sambo

Pengamat sosial yang juga Founder KlinikDigital.org Devie Rahmawati mengatakan tak bisa dipungkiri informasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J.

Dengan minimnya data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh, tak jarang satu sisi persepsi menjadi penentu opini publik.

“Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut. Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah,” kata Devie kepada wartawan, Selasa (26/7/2022).

Baca juga: Kisah Tentang Vera Simanjuntak Pasca Tewasnya Brigadir J: Matanya Masih Sembab dan Kini Jadi Pendiam

Saat ini, kata Devie, proses penyelidikan kasus Brigadir J terus berlangsung dengan mengumpulkan fakta dan data yang sebenarnya.

Bahkan, dikatakannya, Komnas HAM pun sempat menyampaikan ada kejanggalan dari pengungkapan kasus Brigadir J tersebut.

Namun, yang mengkhawatirkan dari apa yang terjadi adalah tuduhan di awal informasi viral yang sungguh merusak.

Bukan saja reputasi seseorang, kata Devie, tetapi jejaring yang terkait orang tersebut. Padahal, jika ditelisik kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.

“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J. Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensinya untuk mengumpulkan data-data obyektif,” ucap dia.

Menurutnya, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka.

Akan tetapi, ia tak menampik pergeseran cepat informasi ini, banyak menghasilkan informasi positif dan membangun.

“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” katanya.

Baca juga: Rekam Jejak Bharada E yang Disebut Sebagai Penembak Brigadir J, Keberadaannya Ditanyakan Komnas HAM

Pada hakikatnya, lanjutnya, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan.

Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.

“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” katanya.

Di universe digital, Devie mengatakan watak manusia Indonesia yang dulu ramah bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang.

Dimana, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture.

“Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu,” pungkasnya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini