TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Pusat Kajian Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (PUSKOD FH UKI) Teras Narang mengatakan, Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat seharusnya segera menjadi undang-undang.
Hal tersebut lantaran RUU itu merupakan amanat konstitusi yang paling tinggi yakni pasal 18 ayat 2 UUD 1945.
"Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat ini bukan hanya sekedar dari kelompok orang atau masyarakat semata, tetapi merupakan perintah konstitusi kita yakni pasal 18 ayat 2 UUD 1945," ujar Teras Narang saat membuka Webinar PUSKOD UKI bertema "RUU Masyarakat Hukum Adat: Mendesak untuk Diudangkan," Jumat (12/8/2022).
Menurutnya, masyarakat adat telah ada sebelum Indonesia merdeka, dan mereka turut mewujudkan cita-cita Kemerdekaan.
"Dulu mereka ini hidup pada entitasnya masing-masing. Masyarakat adat ini ada dimana-mana. Mereka ada diberbagai daerah di Indonesia saat itu. Mereka hidup sehari-hari di berbagai wilayah dan komumitas", jelasnya.
Untuk itu, Teras mengingatkan pemerintah, DPR, DPD maupun instansi lainnya agar RUU Masyarakat Hukum Adat segera diundangkan.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Segera Sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat demi Pelestarian Budaya Bangsa
"Banyak ketentuan yang dalam RUU tersebut sudah membuka jalan untuk masyarakat adat di Indonesia," kata dia.
Teras menyebut pengundangan RUU ini juga merupakan semangat reformasi, yang mana memandatkan pengakuan atas kekhasan dan kehidupan adat.
"Hai bangsaku. Hai pemerintahku. Hai anggota DPR. Hai anggota DPR. Ini masih ada RUU amanat konstitusi yang belum di undangkan. Kami akan ingtakan terus soal ini," ucap dia
Sementara itu, Marko Marhim sebagai Antropolog Dayak mengungkapkan, masyarakat adat telah ada sebelum Indonesia ada.
"Mereka telah mengorganisir diri secara berkelompok. Mereka juga hidup di berbagai wilayah dan ekosistem. Mereka ini sudah ada sejak dulu. Mereka ada dari pulau Miangas sampai pulau Rote. Masyarakat adat ini tidak akan punah sampai kapanpun. Bahkan, saat ini mereka telah berkembang dengan kelompok urban. Mereka mendirikan beberapa kelompok," ujarnya.
Dia menjelaskan urgensi atau persolan empirik diundangkannya RUU ini. Pertama, banyaknya kasus pelanggaran atas hak-hak masyarakat hukum adat. Bukan terhadap pengakuan atas indentitas sosial atau atribut masyarakat hukum adat.
"Kedua, diperlukan UU yang dapat menjadi dasar hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi dan membelenggu serta mendiskriminasi masyarakat adat yang hidup pada masa kini. Terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat secara spesifik wilayah adat yang adalah ruang hidup masyarakat adat," kata dia.
Terakhir, kata dia, diperlukan UU yang menjamin keberlangsungan masyarakat hukum adat yang memiliki, melindungi, mengelola, memanfaatkan wilayah adatnya untuk kesejahteraan hidup mereka.
Dia menilai perlu juga ditekankan bahwa RUU Masyarakat Adat mengakui partisipasi dalam pembangunan nasional.
"Masyarakat adat ini rentan mengalami diskriminasi. Karena sering tergusur. Mereka tidak bisa mempertahankan itu karena diakses kelompok lain yang punya entitas hukum yang kuat misalnya perusahaan dan lain-lain," pungkasnya.