Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E mengungkap tiga alasan mencabut kuasa Deolipa Yumara dan Muhammad Boerhanuddin sebagai pengacaranya.
Bharada E merupakan tersangka kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang diotaki eks Kadiv Prompam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Ronny Talapessy, pengacara baru Bharada E, memastikan tidak ada intervensi dalam pencabutan kuasa tersebut.
Menurut Ronny Talapessy, pencabutan kuasa dilakukan karena orangtua dan Bharada E tidak nyaman dengan dua pengacara sebelumnya.
"Tidak ada intervensi dari siapa-siapa, tapi ini adalah keinginan dari orangtua dan Bharada E karena merasa tidak nyaman dengan pengacara lama," kata Ronny saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (14/7/2022).
Ada tiga alasan mengapa keduanya dicabut kuasanya oleh Bharada E dalam pendampingan hukum tersebut.
Baca juga: Pengacara Bharada E Bantah Nyanyian Kode Deolipa Soal Intervensi Pencabutan Kuasa
Pertama, karena Deolipa dan Boerhanuddin disebut hanya mencari panggung.
"Pertama adalah waktu tanda tangan kuasa pertama kali itu bukan ditanyakan kasusnya seperti apa, berkasnya bagaimana tetapi langsung press conference, itu yang membuat tidak merasa nyaman. Tidak salah memang press conference, tapi kan etikanya pelajari dulu kasus ini, interview dulu," jelasnya.
Alasan kedua, sebagai pengacara, Deolipa dan Boerhanudin membeberkan apa yang seharusnya tidak diungkap kepada publik.
"Ada hal-hal yang tidak harus diungkapkan ke publik, contohnya pemberian uang Rp 1 miliar, nah kan ini kan harusnya pembicaraan yang Bharada E untuk pembelaan di pengadilan, tapi disampaikan secara sepotong-sepotong jadi seolah-olah ini Bharada E mengetahui adanya pembunuhan berencana ini, padahal tidak seperti itu, ini kan setelah kejadian," ucapnya.
Baca juga: Bharada E Bertemu Orangtua di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Royke Pudihang Bilang Begini
Terakhir, lanjut Ronny, pasal yang menjerat Bharada E sangat berat sehingga keluarga menginginkan pengacara yang profesional.
"Ketiga orangtua, karena ini ancamannya hukumannya ancaman hukuman mati, berat. Orangtua mau lawyernya yang profesional, jangan mengeksploitasi keadaan lah," katanya.
Ronny pun membantah jika tanda tangan dalam pencabutan kuasa terhadap Deolipa Yumara dan Muhammad Boerhanuddin palsu.
Ronny menyebut tanda tangan tersebut merupakan tanda tangan asli kliennya.
"Tidak ada (Dugaan tanda tangan palsu), tidak ada. Itu tanda tangan asli Bharada E," kata Ronny, Sabtu (13/8/2022).
Ronny juga memastikan surat pencabutan kuasa oleh Bharara E itu memenuhi syarat formal.
"Tidak ada yang cacat formal. Itu tanda tangan asli kok," kata Ronny.
Baca juga: Pengacara Tegaskan Bharada E Tidak Terlibat Skenario Pembunuhan Brigadir J yang Diotaki Ferdy Sambo
Berdasar Pasal 5 kode etik Advokat Indonesia, Ronny menyebut pencabutan kuasa bisa dilakukan secara sepihak tanpa adanya konfirmasi dari pengacara tersebut.
"Perlu kita sampaikan bahwa pencabutan surat kuasa itu sudah diatur di pasal 5 kode etik advokat indonesia. Bahwa pencabutan kuasa itu bisa dilakukan sepihak tanpa adanya konfirmasi atau persetujuan kedua belah pihak," ucapnya.
Sebelumnya, Deolipa Yumara, eks pengacara pengacara Bharada Richard Eliezer atau Bharada E menduga ada intervensi dalam pembuatan surat pencabutan kuasa.
Olif, sapaan akrabnya, mengatakan dirinya dan Bharada E sudah saling mengetahui bahwa ada ‘kode’ tersendiri di antara mereka, dalam hal ini menuliskan sebuah surat.
“Ada orang yang mengintervensi atau menyuruh sehingga dia mencabut kuasa. Karena dia ngasih kode nih ke saya, dia sampaikan, dia memberi kode, ‘Bang Deo, ini saya di bawah tekanan,” kata Deolipa Yumara dalam konferensi pers di kediamannya di kawasan Depok, Jawa Barat, Sabtu (13/8/2022).
Olif menjelaskan kode-kode itu disampaikan hingga disepakatinya dengan Bharada E pada saat dirinya pertama kali bertemu dengan eks kliennya itu.
Baca juga: LPSK Bakal Kawal Bharada E di Rutan Bareskrim Polri, Keluarganya Pun Kini Dievakuasi ke Tempat Aman
Kata dia, ketika menandatangani surat atau pernyataan tertulis apapun haruslah dibubuhkan kode tertentu yakni tanggal dan jam dibuatnya pernyataan itu.
Ia juga meminta kepada Bharada E agar dalam membuat surat pernyataan harus dalam bentuk tulis tangan. Termasuk tanda tangan, jam dan tanggal pembuatan..
"Ini saya beri judul 'Nyanyian Kode' yang bercerita momen saat tanda tangan surat kuasa pertama kali bersama Bharada E. Saya bicara ke E, kita main nyayian kode,” ujarnya.
“Gua bilang gini, setiap lu tanda tangan surat pernyataan, lu harus tulis tanggal sama jam di samping tanda tangan atau di atasnya. Nyanyian kode itu baik untuk surat bermaterai atau tidak. Semua harus begitu," lanjut Deolipa.
Menurut Olif, kode yang disepakati mereka berdua itu sudah dilakukan dalam pembuatan dua surat.
Pertama, surat pernyataan belasungkawa dari Bharada E untuk keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Kemudian yang kedua ialah surat kuasa yang disepakati antara Bharada E dengan dua kuasa hukumnya.
"Surat pertama permohonan bela sungkawa. Itu sebelum tanda tangan diawali dengan pencantuman tanggal dan jam, bahkan menit. Itu surat pertama ya.”
“Lalu surat kedua, surat kuasa dia ke saya dan Burhan. Surat itu dibarengi dengan keterangan 6 agustus 2022 jam 22.45 WIB dan menitnya. Begitu karakter surat dari Bharada E," ujarnya.
Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Bareskrim Polri saat ini sudah menetapkan empat orang tersangka.
Empat tersangka tersebut di antaranya mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Asisten Rumah Tangga (ART) Irjen Ferdy Sambo, Kuat Maruf (KM), Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, dan Brigadir Ricky Rizal alias Brigadir RR.
Keempat tersangka disangka pasal pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Adapun peran keempat tersangka adalah Bharada E yang merupakan pelaku penembakan terhadap Brigadir J.
Sementara itu, tersangka Brigadir Ricky Rizal dan KM diduga turut membantu saat kejadian.
Sedangkan, tersangka Irjen Ferdy Sambo diduga merupakan pihak yang meminta Bharada E menembak Brigadir J.
Dia juga yang membuat skenario seolah-olah kasus itu merupakan kasus tembak menembak.
Dalam kasus ini, Timsus memeriksa 56 personel polisi terkait penanganan kasus Brigadir J.
Adapun 31 orang di antaranya diduga melanggar kode etik profesi polri (KKEP).
Adapun sebanyak 16 anggota Polri di antaranya ditahan di tempat khusus buntut kasus tersebut.
Dari jumlah anggota Polri yang ditahan di tempat khusus, 3 orang diketahui merupakan perwira tinggi Polri.