TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) dalam Musyawarah Rakyat (Musra) yang mengharapkan masa kekuasaan Presiden Joko Widodo hingga 3 periode dengan membandingkan mantan kanselir Jerman Angela Markel dan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher mendapatkan kritik.
Pendiri Cyrus Network Hasan Nasbi mengatakan, selain sistem politik yang berbeda antara kedua negara, sistem parlementer seperti Jerman dan Inggris, memudahkan pemimpin atau Perdana Menteri (PM) dijatuhkan kapan saja.
"High risk high return. Thatcher dan Merkel berkuasa dalam sistem parlementer. Mereka tak ada batasan berkuasa. Selama partai mereka menang, otomatis jadi PM atau kanselir. Tapi juga bisa jatuh kapan saja, baik oleh parlemen, atau pun oleh tantangan sejawat dalam partai sendiri," kata Hasan kepada wartawan, Senin (29/8/2022).
Hasan mengatakan sudah beberapa contoh jatuhnya perdana menteri di negara yang menganut sistem parlementer.
Dia mengambil contoh bagaimana mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher yang mundur bukan karena kalah pemilu, melainkan ditantang dan kalah voting oleh rekan separtainya John Major.
John Major lalu berkuasa 7 tahun dan kalah dalam pemilu dari partai buruh yang memenangkan Tony Blair.
"Tony Blair berkuasa 10 tahun tapi kemudian ditantang internal partai oleh Gordon Brown. Kalah Tony, lalu digantikan Gordon selama 3 tahun. Setelah itu Gordon Brown kalah pemilu," ujar dia.
Baca juga: Kelakar Projo: Jangan-jangan Hasil Musra Pengen Jokowi Capres Lagi
Begitu juga Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dikatakan Hasan, yang baru saja "mundur" karena keinginan partainya sendiri, Partai Konservatif.
"Boris Johnson itu menantang Theresa May dari partai sendiri. Theresa berkuasa 3 tahun, kemudian kalah dengan Boris yang juga berkuasa hanya 3 tahun, mau Indonesia seperti itu?" tanya Hasan.
Hasan pun menyarankan Projo jika ingin meniru model kepemimpinan negara lain, harus disesuaikan dengan keadaan.
Menurutnya, boleh saja jika Projo ingin sistem politik di Indonesia tidak ada pembatasan masa jabatan kepala pemerintahan.
"Namun, informasinya utuh, kasih bayangan bahwa kita akan kembali ke era parlementer seperti masa 1945-1959, atau kita kembali ke orde baru (orba). Tinggal pilih saja," lanjutnya.
Sebaliknya, lanjut Hasan, pernyataan Projo terlihat seolah-olah ingin meniru Margareth Thatcher dan Angela Merkel tetapi dengan sistem presidensil.
"Kalau mau bertahan dengan sistem presidensil tapi dengan jangka waktu yang panjang, Projo bisa sebut ingin meniru Xi Jinping, Putin, Erdogan, Fidel Castro, atau paling ekstrim Kim Jong Un. Atau ya sekalian saja bilang kita mau kembali ke Orde Baru, niru Pak Harto. Yang demo Pak Harto dulu kudu ziarah ke makam Pak Harto sekalian minta maaf," kata dia.