News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Analisis Pakar

Awan Gelap Subsidi BBM (1)

Editor: cecep burdansyah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Addin Jauharudin

Oleh: Addin Jauharudin, MM
Bendahara Umum PP GP Ansor/Mahasiswa Program Doktor Universitas Brawijaya

Segala upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menekan harga BBM di tengah ancaman global yang berujung pada kenaikan harga pangan dan energi. Tak ada pilihan selain
menyesuaikan harga BBM dengan tetap menyalurkan jaring pengaman sosial.

Awan gelap masih menyelimuti dunia, meskipun pandemi sudah berangsur sirna. Konflik
geopolitik Rusia dan Ukraina serta gesekan Taiwan-Republik Rakyat Tiongkok (RTT)-Amerika
Serikat (AS) menjadi babak baru tantangan yang kembali menghantam dunia.

Akibatnya, krisis pangan menyeruak, dilanjutkan dengan krisis energi menjalar ke basis pertahanan keuangan seluruh negara. Krisis berimplikasi pada kenaikan harga energi yang bermuara pada inflasi.

Sebut saja, di Amerika Serikat (AS) inflasi menjadi 9,1 persen pada Juni 2022, kenaikan tertinggi dalam lebih dari empat dekade. Kenaikan inflasi ini membuat rakyat AS harus membayar harga bahan bakar, makanan, perawatan kesehatan dan biaya sewa lebih tinggi.

Di Indonesia, terkendalinya inflasi Indonesia saat ini rupanya hanya semu, yakni sekitar
4,35 persen (Juni); 4.94 persen (Juli); 4,69 persen (Agustus).

Artinya, rendahnya inflasi di tanah air hanya ditolong oleh langkah kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mempertahankan harga energi domestik dan subsidi serta kompensasi energi yang ditambahkan menjadi Rp 502,4 triliun melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022.

Tambahan subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak (BBM) itu pun karena penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dinaikkan.

Semua berjalan baik-baik saja, hingga akhinya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani
Indrawati mulai was-was.

Pada pertengahan Agustus 2022, Menkeu meminta PT Pertamina (Persero) membatasi pembelian BBM di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Pembatasan BBM perlu dilakukan karena beban subsidi energi sebesar Rp 502,4 triliun akan habis pada Oktober 2022. Konsumsi BBM jenis Solar telah mencapai 63 persen dari alokasi, sementara Pertalite sudah 43 persen dari alokasi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memproyeksi, pada akhir tahun konsumsi Solar akan mencapai 17,44 juta kiloliter (KL) atau setara 115 persen dari kuota yang sudah dianggarkan pemerintah.

Sedangkan untuk Pertalite, mengacu data konsumsi 8 bulan kebelakang, diprediksi mencapai 29,07 juta KL di akhir 2022 atau setara 126 persen dari kuota yang disiapkan pemerintah.

Maka, bila harga BBM tidak segera dinaikkan, anggaran subsidi energi tahun ini harus
ditambah Rp 195,6 triliun, sehingga menjadi sebesar Rp 698 triliun.

Sebagai catatan, perhitungan ini berdasarkan tren konsumsi serta mempertimbangkan kurs rupiah sebesar 14.700 per dollar AS dan acuan harga minyak mentah sekitar 105 dollar AS per barel.

Di sisi lain, bila anggaran Rp 195,6 triliun tidak ditambahkan dan kemudian menjadi
tagihan Pertamina kepada pemerintah di tahun depan, maka anggaran subsidi yang ditargetkan
Rp 336,3 triliun di 2023 akan hilang separuhnya hanya untuk membayar tagihan tahun ini.

Semua akan berulang, APBN terkungkung oleh belanja subsidi dan konpensasi energi. Di sisi lain, perlu diingat, tahun 2023 pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen. (bersambung)*

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini