TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon mengaku mendapatkan intimidasi berupa teror dan ancaman pembunuhan usai menyebut TNI seperti gerombolan atau ormas.
Effendi mengaku ponselnya tak berhenti berdering seharian hingga alamat rumahnya disebar.
”Mungkin teman-teman lihat sendiri viral-viral, alamat rumah saya dikasih. Kemudian handphone saya 24 jam enggak berhenti-henti berdering," kata Effendi di Gedung DPR, Senayan, Kamis (15/9).
Effendi menyebut ancaman yang ia terima bukan hanya data pribadinya yang disebar, namun ia dan keluarganya juga mendapatkan ancaman pembunuhan.
"Iya, iya (dapat ancaman). Ancaman nyawa. Semua (keluarga juga kena ancaman). Ada di handphone
saya," ucap dia.
Anggota Komisi I saat ini masih melakukan pendataan terkait ancaman yang ia dapat.
Namun, ia belum berencana menempuh jalur hukum.
"Ada semua saya profiling semua. Nanti pada waktunya saya buka. Enggak, enggak (jalur hukum) jauh di
atas hukum," ucap dia.
Effendi mengaku heran mengapa dia mendapatkan intimidasi dan ancaman yang begitu banyak atas pernyataannya itu.
"Saya kira enggak zamannya lagi hanya seorang Effendi Simbolon kemudian dikepung dengan begitu hebatnya," kata Effendi.
Saat ditanya apakah nama Jenderal Dudung yang kemudian memerintahkan soal intimidasi itu, Effendi enggan menjawab tegas.
"Ya kalau itu kalianlah yang menyikapi sendiri," katanya.
Effendi Simbolon sebelumnya menuai polemik setelah melontarkan pernyataan yang menyebut TNI sebagai gerombolan.
Tak hanya itu, Effendi juga menyinggung hubungan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan KSAD Dudung Abdurrachman yang dinilai disharmoni.
Pernyataan itu disampaikan Effendi saat rapat dengar pendapat Komisi I dengan Andika Perkasa pada 5 September 2022.
Setelah mendapat berbagai kecaman dan tekanan hingga dilaporkan ke MKD, Effendi akhirnya menyampaikan permohonan maaf.
Permohonan maafnya itu disampaikan Effendi didampingi Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dalam konferensi pers yang digelar di Ruang Fraksi PDIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (14/9).
“Saya mohon maaf, saya tujukan ini pada seluruh prajurit baik yang bertugas maupun yang sudah purna dan juga para pihak yang mungkin tidak nyaman dengan perkataan saya dan juga pada Panglima TNI saya mohon maaf juga kepada Kepala Staf Angkatan Darat saya mohon maaf dan juga Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara yang juga mungkin merasa hal yang kurang nyaman,” kata Effendi.
Ia mengakui kesalahan akibat perkataannya yang menyebut bahwa anggota TNI seperti gerombolan.
Ia pun meminta maaf jika pernyataannya membuat semua anggota TNI tersinggung.
“Kemudian tidak elok dan juga beberapa pihak tidak nyaman, mungkin merasa tersinggung, atau tersakiti dari kata-kata yang keluar dari saya yang seputar soal gerombolan dan ormas,” ucap Effendi.
“Sejujurnya saya tidak pernah menstigmakan TNI seperti gerombolan, tapi lebih kepada kalau tidak ada kepatuhan, kalau tidak ada kemudian harmoni dan seterusnya itu seperti gerombolan, seperti ormas,” lanjut dia.
Effendi sempat dilaporkan oleh tiga ormas dan perseorangan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terkait ucapannya itu.
Ketiga ormas itu adalah Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI), Panca Marga, dan
Antartika.
Namun MKD memutuskan untuk tidak menindaklanjuti laporan terhadap Effendi itu.
"Effendi Simbolon telah melakukan permohonan maaf secara terbuka tanggal 14 September 2022 terkait hal ini dan teradu juga menyampaikan permohonan maaf saat menghadiri undangan MKD. Atas dasar tersebut perkara pengaduan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Effendi Simbolon tidak dapat ditindaklanjuti oleh MKD DPR RI," ujar Wakil Ketua MKD, Habiburokhman, saat membacakan keputusan di Ruang MKD, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/9).
Habiburokhman mengatakan apa yang disampaikan Effendi terkait isu disharmoni di tubuh TNI merupakan sebuah kritikan yang bersifat membangun.
"Pernyataan yang disampaikan teradu Effendi Simbolon mempunyai hak imunitas untuk menyampaikan
pernyataan pertanyaan dan sikap dalam menjalankan tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 20a ayat 3 UU MD3. Keputusan MKD berlaku sejak ditetapkan," pungkas Habiburokhman.(tribun neywork/den/dod)