Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan Umum (Pemilu) di Republik Indonesia (RI) telah ditetapkan menggunakan sistem one man one vote di dalam konstitusi.
Sistem tersebut dinilai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai sebagai bentuk monopoli oleh kelompok mayoritas.
"Sudah pasti mayoritas yang menang," ujarnya dalam Diskusi PB PMII yang bertajuk Indonesia dalam Belantara Benturan Kepentingan pada Jumat (21/10/2022).
Menurutnya, kemenangan dalam Pemilu, termasuk Pemilihan Presiden (Pilpres) akan cenderung berpihak pada sosok yang merepresentasikan populasi terbanyak di Indonesia.
"Itu karena dampak Pemilu kita populan vote," ujarnya.
Dia menyebut bahwa sistem yang dianut dalam Pemilu masa kini mencerminkan ketidak adilan dalam demokrasi di Indonesia.
"Itulah potret demokrasi kita. Sudah berada pada garis kuning."
Oleh sebab itu, dirinya mengusulkan agar Pemilu di Indonesia menggunakan sistem distrik atau single member constituency. Jadi terdapat pembagian ke dalam beberapa daerah pemilihan sesuai dengan jumlah populasi daerah tersebut.
Dia pun mencontohkan satu partai politik yang dianggap sudah menerapkan sistem pemilihan tersebut, yaitu Golkar.
Baca juga: Tensi Politik Kerap Tinggi, KPU Harap Dukungan Polri Pantau Pemilu 2024
Penerapan sistem distrik tersebut akhirnya memunculkan ketua umum partai dari daerah yang berbeda pada setiap periode.
"Orang dari Lampung bisa jadi ketua umum. Orang dari Jawa bisa jadi ketua umum."
Bagi Natalius, sistem distrik tersebut akan cenderung lebih adil dan kompetitif.
Sistem tersebut juga dianggap benar-benar dapat memunculkan sosok terbaik, bukan hanya representasi populasi terbanyak.
"Coba kalau Pemilunya dirubah, sistem distrik. Putera terbaik bangsa yang jadi presiden," katanya.