Dalam rapat dengan Menteri Hukum dan HAM itu, Sudirta menyampaikan beberapa pandangan terkait urgensi pengesahan RUU KUHP tersebut.
"Setelah mempelajari dan melihat berbagai data dan informasi yang saya dapatkan dari pembahasan RUU KUHP yang lalu, saya mengapresiasi Pemerintah dan DPR yang telah berupaya untuk melakukan pembahasan yang sangat komprehensif terhadap RUU KUHP dengan mengutamakan kepentingan nasional, yakni kepentingan untuk mereformasi hukum pidana nasional yang komprehensif dan berdaya tahan untuk jangka panjang," terang Sudirta.
Di antaranya, urgensi pengesahan RUU KUHP ini adalah untuk menggantikan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dan sebagai salah satu upaya untuk mendukung pembangunan hukum nasional.
RUU KUHP dirancang untuk membaharui hukum pidana materiil yang mengandung misi rekodifikasi hukum pidana yang kini telah berkembang di seluruh peraturan perundang-undangan sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat melalui sistem Rekodifikasi Terbuka.
Artinya mengatur ketentuan pidana secara umum sebagai “ketentuan umum” (lex generali), yakni sebagai pedoman utama pengaturan pidana di Indonesia (the limiting principles) terhadap seluruh UU di luar KUHP.
RUU KUHP mengatur asas-asas atau prinsip-prinsip umum hukum nasional akan menjadi dasar atau pedoman hukum pidana di seluruh ketentuan pidana Indonesia tanpa mengesampingkan sifat-sifat kekhususan acara pidana di dalam UU lain dengan tetap berpegangan pada the limiting principles sebagaimana diatur dalam Aturan atau Ketentuan Umum dalam RUU KUHP.
Selain itu, RUU KUHP juga menjadi jalan untuk pemberlakukan prinsip-prinsip hukum umum dan internasional yang modern, seperti misalnya perluasan subyek hukum pidana (korporasi) dan penambahan jenis sistem pemidanan.
"RUU KUHP juga menghormati kekhasan dan kekayaan hukum adat Indonesia, dengan mengakui keberadaan hukum pidana adat, namun dengan batasan-batasan tertentu. Hal ini dilakukan sebagai upaya bersama untuk mengurangi over-kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan tertentu sekaligus melindungi seseorang secara hukum," imbuh Sudirta.
Namun begitu, terkait pro dan kontra terhadap beberapa pasal atau substansi di dalam RUU KUHP yang kemudian perlu dicermati dan dibahas lebih jauh.
Pasal tersebut misalnya adalah pasal-pasal yang terkait dengan kebebasan berekspresi, norma kesusilaan, dan asas legalitas. Dalam hal ini Pemerintah telah mengkluster beberapa isu yang menjadi perhatian masyarakat dan telah dilakukan pembahasan dan evaluasi terhadap pasal-pasal tersebut.
"Draf RUU KUHP yang terdiri dari Buku I dan Buku II harus dapat dicermati secara utuh dan menyeluruh. Banyak pihak yang menyampaikan pandangannya terhadap pasal-pasal dalam RUU KUHP tanpa melihat keseluruhan bagiannya secara utuh," tutur Sudirta.
Dengan begitu, penolakan ini sebetulnya menjadi sia-sia karena sebenarnya banyak masukan (penolakan) yang justru substansinya telah diakomodir di dalam naskah RUU KUHP.
Sudirta melihat bahwa apa yang dikhawatirkan masyarakat sebagian besar adalah adanya kriminalisasi oleh penegak hukum menggunakan RUU KUHP sebagai upaya “mengendalikan dengan cara-cara kolonialisasi baru”.
Sudirta menegaskan, bahwa hal ini bukanlah tujuan para perancang RUU KUHP, namun ia setuju bahwa pengaturannya harus dilakukan secara hati-hati dan sebisa mungkin menghindari risiko atau potensi penyalahgunaan.