Puncak bentrokan itu setelah Brigadir Jendral (Brigjend) Mallaby ternuhun pada 30 Oktober 1945.
Brigjend Mallaby merupakan pimpinan tentara Inggris yang berada di Jawa Timur.
Hal tersebut membuat pihak Inggris marah besar dan mengganti pimpinannya dengan Mayor Jendral Eric Carden Robert Mansergh.
Selain itu, pihak Inggris juga mengeluarkan Ultimmatum bahwa 10 November 1945 meminta Indonesia uuntuk menyerahkan senjata dan berhenti melakukan perlawanan kepada AFNEI dan NICA.
Serta mengancam akan menggempur Kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila Indonesia tidak mematuhi perintah Inggris.
Namun, ultimatum tersebut tidak ditaati oleh masyarakat Surabaya dan mengakibatkan pertempuran yang sangat dahsyat selama kurang lebih tiga minggu.
Dilansir laman semarangkota.go.id, dalam medan perang itu mengakibatkan 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, 150.000 warga terpaksa meninggalkan Surabaya.
Sedangkan, prajurit Inggris yang tewas berjumlah 1.600 di Surabaya yang saat itu jadi mendapat julukan 'Nerala'.
Kemudian kota Surabaya dikenang sebagai kota pahlawan.
Diketahui, dalam peristiwa ini ada sosok yang dinela, yakni Bung Tomo yang menggerakkan dan mengobarkan semangat rakyat Surabaya.
Seruan Bung Tomo yang berhasil mengobarkan semangat adalah “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”.
Seruan itu disebarluaskan dalam siaran-siaran radio sehingga bantuan bagi rakyat Surabaya berdatangan dari berbagai penjuru baik dalam bentuk tenaga maupun logistik.
(Tribunnews.com/Enggar Kusuma, Pondra Puger)