TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konferensi Bandung-Belgrade-Havana Inter and Trans Disciplinary yang digelar dalam rangka napak tilas Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 serta Gerakan Non Blok (GNB) telah berakhir dilaksanakan.
Adapun sebanyak belasan poin rekomendasi juga telah disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI).
Darwis Khudori, penggagas sekaligus satu dari 140-an akademisi dari seluruh dunia yang mengikuti konferensi itu, menjelaskan rekomendasi itu merupakan hasil dari pertemuan yang digelar di 4 kota.
Dimulai sejak 7 November 2022 di Jakarta, lalu di Bandung, Surabaya, dan terakhir di Bali.
“Pernyataan atau Deklarasi Akhir konferensi disiapkan untuk diserahkan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara anggota GNB dan G20,” kata Darwis Khudori, pada Senin (14/11/2022).
Rekomendasi pertama, pentingnya literasi arsip nasional sebagai rujukan sejarah dan pijakan masa depan.
“Usulan ANRI dalam mengajukan arsip Non Allignment Movement atau NAM atau Gerakan Non Blok, dan Pidato Bung Karno To Build the World Anew di PBB tahun 1960 sebagai Memory Of The World UNESCO perlu mendapat dukungan dari kalangan akademisi internasional,” demikian Khudori menyampaikan rekomendasi pertama.
Kedua, perlunya mengenal pemimpin-pemimpin dunia yang berperan besar dalam perubahan tata-dunia dari yang bersifat hegemoni dan dominasi menjadi yang bersifat damai, adil dan makmur bagi semua.
Tujuh tokoh dunia yang paling perlu dikenal adalah Jawaharlal Nehru, Zhou Enlai, Soekarno, Gamal Abdel Nasser, Josip Broz Tito, Kwame Nkrumah dan Fidel Castro.
Ketiga, pidato Bung Karno di PBB tahun 1960 layak menjadi rujukan dan titik tolak pembangunan tata-dunia baru berdasarkan perdamaian abadi, keadilan dan kemakmuran bagi semua.
Baca juga: ANRI Gelar Konferensi Internasional Bandung-Belgrade-Havana, Hadirkan Kembali Semangat KAA 1955
Keempat, dalam menghadapi hegemoni dan dominasi Barat yang berkelanjutan sejak zaman kolonial sampai hari ini, negara-negara anggota BRICS dan NAM perlu melakukan sinergi untuk mengimbangi kekuatan Barat dan mengubah tata-dunia sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Karno.
Selanjutnya, di bidang tata-ekonomi dunia, diperlukan tiga pilar untuk mewujudkan tata-dunia tersebut.
Yakni sejenis sistem perbankan baru yang relevan dengan kebutuhan pembangunan; sejenis mata-uang baru berdasarkan sumberdaya alam dan manusia, bukan berdasarkan spekulasi dan ekploitasi; dan sebuah alternatif tandingan bagi IMF yang mampu memberikan likuiditas dan stabilitas berdasarkan mata-uang lokal, regional dan sumber daya alam.
Berikutnya, pidato Bung Karno di PBB tahun 1960 bisa dijadikan paradigma bagi pembangunan tata dunia baru yang multidimensional, baik dari segi politik, ekonomi, kebudayaan maupun militer.
Ketujuh, perlunya dibangun perangkat perekonomian dunia sebagai alternatif dari perangkat kapitalisme Barat seperti IMF, Bank Dunia dan Bretton Wood. Perekonomian alternatif ini bisa disebut 'Green Bandung Wood'.
Kedelapan, di bidang gender, perlu dilakukan langkah-langkah bersama untuk mengakhiri system patriarki dan kekerasan terhadap perempuan.
Lalu di bidang sosial-media, terjadi kesemrawutan digital (digital disorder) yang berdampak pada kesehatan mental dan ekonomi masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif. Perlu dibangun system perundang-undangan yang mengatur transformasi digital agar dampak negatifnya bisa dihilangkan atau diminimalisir.
Kesepuluh, di bidang tata-dunia, perlu digali dan dikembangkan imaginasi dan pemikiran berdasarkan Bandung Spirit.
Sementara di bidang ekologi, perlunya dilakukan mitigasi terhadap kerusakan lingkungan dan ditetapkan prinsip-prinsip perancangan lingkungan dan perkotaan yang berdasarkan atas kebutuhan setempat, dan bukan atas buku-buku panduan dari negara asing.
“Pembangunan habitat yang berkelanjutan perlu menata ulang hubungan desa-kota dan memberikan prioritas bagi pembangunan perdesaan,” ujar Darwis.
Keduabelas, Konferensi menilai kolonialisme, neo-kolonialisme dan imperialisme Barat masih bercokol di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Gerakan-gerakan sosial dan politik di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin perlu bersatu untuk menggalang kekuatan dan solidaritas guna mengakhiri kolonialisme, neokolonialisme dan imperialisme.
“Serta membangun alternatif tata-dunia baru berdasarkan perdamaian, keadilan dan kemakmuran abadi,” imbuh Khudori.
Selanjutnya, perang masih terjadi di berbagai bagian dunia, baik di Afrika, Asia, Amerika maupun Eropa. Peperangan tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga secara virtual, digital, melalui sosial-media dan secara ekonomi melalui sanksi-sanksi negara-negara Barat terhadap negara-negara yang tidak sesuai dengan kepentingan Barat.
Terkait perang yang terjadi di Ukraina saat ini, disebut bahwa ini bisa dipahami sebagai perlawanan Rusia terhadap agresi Barat yang sudah berlangsung secara bertahun-tahun melalui sanksi-sanksi ekonomi dan media.
“Perang di Ukraina adalah perang antara AS-NATO melawan Rusia. Perang ini sudah memakan korban jiwa tapi juga berdampak pada krisis global di bidang pangan, energi dan keuangan. Kampanye untuk menghentikan perang perlu terus dikumandangkan, termasuk seruan untuk menghentikan pasokan senjata dari Barat kepada Ukraina,” kata Khudori.
Lalu, dalam krisis global ini, NAM dituntut untuk berperan lebih aktif memprakarsai langkah-langkah damai dengan membangun sinergi dengan BRICS guna mengimbangi kekuatan ekonomi dan militer dari AS, NATO dan sekutu-sekutunya.
“Bangkitnya Asia sebagai kekuatan ekonomi dan pemain geopolitik global merupakan peluang bagi kebangkitan kekuatan Asia, khsususnya China, India, Indonesia, untuk memimpin dunia menuju perdamaian, keadilan, dan kemakmuran abadi,” tegas Khudori.
Untuk diketahui, konferensi ini melibatkan sekitar 140 sarjana dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi dari berbagai bidang profesional serta aktivis gerakan sosial dan solidaritas, yang berbasis di wilayah geografis yang beragam di Afrika, Amerika, Asia, Australia dan Eropa.