Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah membacakan putusan sela atas nota keberatan atau eksepsi kedua petinggi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain.
Keduanya merupakan terdakwa kasus penyelewengan dana donasi untuk keluarga korban kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan menolak seluruh eksepsi atau nota keberatan kedua terdakwa.
"Mengadili, menolak keberatan atau eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut," ucap Ketua Majelis Hakim Heriyadi, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/11/2022).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai eksepsi yang disampaikan penasihat hukum kedua terdakwa telah dengan jelas disampaikan di dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca juga: Hariyana Hermain Sebut Jaksa Tak Rincikan Pihak Korban Dalam Kasus Dana Donasi ACT
Tak hanya itu, eksepsi yang disampaikan tim kuasa hukum juga kata majelis hakim sudah masuk dalam materi pokok perkara.
Sehingga, sejatinya apa yang disampaikan tim kuasa hukum itu dibuktikan dalam proses persidangan.
Dengan putusan tersebut, Majelis Hakim meminta jaksa untuk melanjutkan pembuktian terkait perkara yang menjerat dua petinggi ACT itu pada Selasa (6/12/2022), dengan memanggil para saksi.
Eksepsi Ibnu Khajar
Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penyelewengan dana donasi yakni Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Periode 2019-2022 Ibnu Khajar membacakan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Pembacaan eksepsi itu dilakukan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (22/11/2022).
Dalam eksepsinya, kuasa hukum Ibnu Khajar, Wildat menyatakan kalau jaksa penuntut umum tidak menjelaskan secara detail apa peran kliennya dalam perkara ini.
Baca juga: Sidang Perdana Eks Bos ACT: Terungkap Jumlah Donasi yang Diselewengkan, dan Terancam 5 Tahun Penjara
"Bahwa Penuntut Umum telah tidak cermat dalam menyusun surat dakwaan primair dan surat dakwaan subsidair, hal ini dikarenakan penuntut umum tidak menguraikan dengan jelas dan tepat apa dan bagaimana peran terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan," kata Wildat dalam persidangan.
Di mana dalam perkara ini, Ibnu Khajar didakwa melanggar Pasal 374 subsidair Pasal 372 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dalam dakwaan tersebut, tim kuasa hukum juga kata Wildat, menilai tidak cermatnya jaksa dalam menjatuhkan pasal 55 ayat (1) ke-1.
Sebab, dalam pasal itu jaksa penuntut umum disebut tidak jelas dalam menyebut adanya pelaku lain yang turut terlibat atau 'penyertaan'.
Di mana kata dia dalam esensi pasal 55 ayat 1 ke-1 itu terkait dengan pelaku yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan.
Sementara dalam kasus yang menjerat Ibnu Khajar bersama Hariyana Hermain dan Ahyudin tidak dijelaskan siapa yang berperan siapa sebagai apa.
"Dengan demikian, menjadi suatu ketidakjelasan dalam penyusunan surat dakwaan," ucapnya.
Oleh karenanya, tim kuasa hukum menilai dakwaan dari jaksa penuntut umum harus batal demi hukum.
Baca juga: Didakwa Lakukan Penggelapan Dana Donasi, Eks Presiden ACT Ahyudin Tak Layangkan Nota Keberatan
Dengan begitu, kubu Ibnu Khajar meminta kepada majelis hakim untuk menolak seluruh dakwaan jaksa penuntut umum.
"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor register perkara: PDM-269/Eoh.2/10/JKTSL.TN/2022 tertanggal 1 November 2022 batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak diterima. Melepaskan terdakwa dari tahanan," ucap Wildat.
Sementara dalam eksepsi terdakwa Hariyana Hermain, Wildat yang juga merupakan anggota kuasa hukum menyatakan, dakwaan jaksa tidak menjelaskan secara rinci siapa yang menjadi korban dalam perkara ini.
"Bahwa di dalam surat dakwaan, Penuntut Umum tidak secara jelas menguraikan siapa sebenarnya pihak yang mengalami kerugian dan menjadi korban dalam perkara ini," kata kuasa hukum Hariyana, Wildat dalam sidang Selasa (22/11/2022).
Tak hanya itu, kubu Hariyana juga menyebut laporan perkara yang melibatkan beberapa petinggi ACT termasuk dirinya sangat tidak berdasar.
Sebab kata dia, pemberitaan mengenai ACT dari sebuah media konvensional tidak bisa dijadikan acuan pelaporan pidana.
Tak hanya itu, laporan pidana itu juga kata dia dilakukan oleh pihak kepolisian lantaran berita viral di media sosial.
"Yang mendiskreditkan Yayasan ACT dalam Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022. Di mana pihak-pihak yang memberikan informasi kepada Majalah Tempo tersebut tidak diketahui sumbernya dengan jelas," kata dia.
Selain itu, kubu Hariyana juga menyatakan kalau pihak ahli waris korban belum sekalipun melayangkan somasi atau gugatan hukum kepada ACT.
"Bahwa faktanya progres pekerjaan pembangunan fasilitas sosial BCIF Boeing sudah mencapai 75 persen. Dan hingga saat dakwaan ini diajukan tidak pernah ada permasalahan hukum baik somasi maupun gugatan hukum dari Boeing maupun ahli waris korban," kata dia.
Oleh karenanya, tim kuasa hukum menilai dakwaan dari jaksa penuntut umum harus batal demi hukum.
Dengan begitu, kubu Ibnu Khajar meminta kepada majelis hakim untuk menolak seluruh dakwaan jaksa penuntut umum.
"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor register perkara: PDM-269/Eoh.2/10/JKTSL.TN/2022 tertanggal 1 November 2022 batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak diterima. Melepaskan terdakwa dari tahanan," tukas Wildat.
Dakwaan Jaksa
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), Ahyudin melakukan penggelapan dana donasi itu bersama Presiden ACT, Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Dewan Pembina ACT.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).
Jaksa menyebut perkara ini bermula pada tanggal 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, Indonesia.
Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
"Atas peristiwa tersebut Boeing menyediakan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610," ucap Jaksa.
"Selain itu Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan," sambungnya.
Namun, uang donasi BCIF tersebut tidak langsung diterima oleh ahli waris, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
ACT, sebagai pihak ketiga mengaku ditunjuk langsung oleh Boeing untuk menjadi lembaga pengelola dana donasi BCIF tersebut
Dalam perjalanannya, ACT meminta pihak keluarga korban menyetujui dana sosial BCIF sebesar USD 144.500 atau senilai Rp2 miliar per ahli waris dengan total dana sekitar Rp138 miliar dari Boeing.
Namun, uang donasi BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa Ahyudin bersama Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain sebesar Rp117 miliar bukan untuk peruntukannya.
"Telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117.982.530.997,diluar dari peruntukannya yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak Perusahaan Boeing sendiri," ucap Jaksa.
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa pasal 374 subsider 372 KUHP juncto pasal 55 ayat ke 1 ke 1 KUHP soal Tindak Pidana Penggelapan Dana.