News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Kriminolog: Selalu Ada Aktor Intelektual dalam Kasus Pembunuhan Berencana

Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo dibawa petugas keluar Gedung Jampidum Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Rabu (5/10/2022). Ferdy Sambo keluar dengan mengenakan rompi merah tahanan Kejagung. Sejumlah anggota Brimob Polri berbaju loreng dan bersenjata lengkap melakukan penjagaan secara ketat.

TRIBUNNEWS.COM - Ahli kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Mustofa mengatakan selalu ada aktor intelektual dalam kasus perencanaan pembunuhan.

Termasuk dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Aktor intelektual inilah, kata Mustofa, yang sangat berperan untuk membuat skenario peristiwa.

Hal itu disampaikan krimonolog Mustofa saat menjadi saksi di persidangan Ferdy Sambo, Senin (19/12/2022).

"Berdasarkan ilustrasi tadi dan berdasarkan kronologi yang diberikan oleh pendidik kepada saya, saya melihat memang di sana terjadi perencanaan."

"Perencanaan itu pasti ada aktor intelektualnya yang paling berperan di dalam mengatur, kemudian dia akan melakukan pembagian kerja membuat skenario apa yang harus dilakukan dan oleh siapa dilakukan, mulai dari eksekusi sampai tindak lanjut."

Baca juga: Ferdy Sambo Bantah Keterangan Ahli: Tak Mungkin Saya Bohong Kejadian di Magelang, Itu Terkait Istri

"(Perencanaan ini dilakukan) agar supaya peristiwa tadi tidak terlihat sebagai suatu peristiwa pembunuhan berencana dan itu perencanaan tadi kelihatan sekali di dalam kronologi,"  jelas Mustofa dikutip dari Kompas Tv.

Selain itu, Mustofa juga menyinggung soal pangkat dalam struktur kepolisian.

"Kemudian mengapa Richard itu kemudian bersedia melakukan karena di dalam posisi hubungan kerja itu, dia paling bawah (pangkatnya), Bhayangkara Dua, itu kan pangkat paling rendah."

"Sementara yang memerintahkan amat sangat tinggi (dalam hal ini Ferdy Sambo)."

"Barangkali (Richard Eliezer) di antara ajudan maupun pembantu rumah tangga, dia juga paling junior."

"Sehingga kemungkinan melakukan penolakan menjadi lebih kecil, apalagi dia masih baru menjadi anggota polisi (pasti memiliki perasan) takut akan kehilangan pekerjaan," terang Mustofa.

Baca juga: Berikut Isi Percakapan Ferdy Sambo dan Richard Eliezer yang Bawa Nama Kapolri, Dibongkar pada Sidang

Mustofa menilai, Richard Eliezer yang ajudan lain terseret dalam kasus pembunuhan karena diikut sertakan.

"(Putri Candrawathi) kurang lebih sama (disuga ikut merencanakan) karena dia majikan."

"Sementara yang lain-lain (menurut saya) hanya di ikut sertakan dalam keadaan dia bawahan."

"Sehingga kemungkinan untuk menolak juga menjadi lebih kecil," kata Mustofa.

Atau bisa jadi ajudan mau melakukan karena telah memiliki hubungan emosional seperti saudara.

"Barangkali juga karena sudah bekerja lama hubungan emosional seperti saudara juga bisa terbangun sehingga itu juga lebih mendorong untuk melakukan (pembunuhan)."

"(Perencanaan ini tidak bisa dilakukan bersama-sama) kalau secara bersama-sama secara sosiologis tidak bisa, harus ada yang mengoordinasi, memimpin dan harus bertanggung jawab, sehingga yang lain-lain akan ikut serta," jelas Mustofa.

Baca juga: Berikut Isi Percakapan Ferdy Sambo dan Richard Eliezer yang Bawa Nama Kapolri, Dibongkar pada Sidang

Ingin Hilangkan Jejak

Mustofa juga mengungkapkan, biasanya reaksi pelaku pembunuhan berencana akan memiliki keinginan untuk menghilangkan jejak setelah berhasil melakukan kejahatan.

"Kalau secara umum, reaksi pertama adalah mencari cara untuk menghilangkan jejak."

"Semuanya pelaku akan mencoba menghilangkan jejak termasuk pembunuhan tidak berencana," kata Mustofa.

Kendati demikian, lanjut Mustofa, tindakan yang biasanya dilakukan pembunuhan berencana juga dipengaruhi oleh budaya.

Ada beberapa kasus, pelaku terpaksa melakukan pembunuhan untuk menjaga harga diri.

"Tapi pelaku tersebut sesuai tuntutan budaya, harus segera menyerahkan diri ke polisi dengan jujur, misalnya ‘Saya sudah melakukan tindakan kriminal, tolong saya dihukum’," jelasnya.

(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Igman Ibrahim)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini