TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Tradisi Tepung Tawar merupakan budaya khas Melayu yang hingga saat ini masih diegang teguh dan dijalankan mayarakat Langkat, Sumatera Utara.
Biasanya tradisi Tepug Tawar selalu dijalankan dalam upacara adat atau momen penting masyarakat Langkat seperti pernikahan, khitan, tasyakuran atau syukuran, aqiqah, dan sejenisnya.
Tradisi Tepung Tawar menurut pengamat budaya Sumatera Utara menggambarkan jejak akulturasi dari sejarah agama islam dan budaya Melayu.
“Islam dan budaya Melayu adalah jejak sejarah akulturasi yang damai dan indah,” ujar pengamat budaya Sumatera Utara (Sumut), Mahyar Diani dalam keterangan yang diterima, Selasa (21/12/2022).
Menurutnya, setelah Islam menyebar di tanah Melayu, corak kebudayaan orang Melayu yang dahulu bersifat Hindu-Buddha berubah menuju kebudayaan Islam.
Baca juga: Tiba di Tana Tidung, Presiden Jokowi Disambut Prosesi Adat Tepung Tawar
Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Melayu dapat ditemukan dalam tradisi, pemikiran, dan kesusastraan Melayu hingga akhirnya Islam dijadikan azas utama kebudayaan Melayu.
Salah satu warisan budaya Melayu yang secara jelas memperlihatkan perpaduan islam dan kebudayaan Melayu adalah lewat tradisi Tepung Tawar.
"Bagi masyarakat Melayu Langkat tradisi Tepung Tawar adalah bagian penting dalam rangkain proses upacara adat," katanya.
Tradisi Tepung tawar merupakan suatu prosesi dan simbolik atau artefak yang diwariskan pendahulu secara turun temurun kepada generasi berikutnya sampai saat ini.
Bagi masyarakat Melayu, tradisi Tepung Tawar sudah menjadi adat.
Baca juga: Tiba di Tarakan, Ketua DPD RI Disambut Prosesi Adat Tepung Tawar
Masyarakat biasanya turut aktif dan terlibat dalam setiap upacara yang mengandung nilai tradisi adat Melayu, seperti syukuran atau selamatan, pernikahan, dan mengkhitan.
Ibnu Hajar (81) atau biasa disapa Atok Olong Benu, seorang tokoh masyarakat Langkat mengatakan tradisi tepung tawar biasa dilakukan dalam berbagai upacara adat atau perayaan penting seperti pernikahan, khitan, tasyakuran, aqiqah, dan sejenisnya.
Terdapat rangkaian pelaksanaan tradisi Tepung Tawar yang harus diperhatikan seperti perlengkapannya ramuan penabur, ramuan rinjisan, dan pedupaan yang setiap bahannya diambil dari jenis-jenis tumbuhan tertentu yang punya arti atau nilai, diiringi dengan salawat nabi dan rabbana marhaban.
Para tetua atau leluhur memaknai tradisi Tepung Tawar sebagai perpaduan nilai religius dan nilai budaya yang diyakini sebagai sesuatu yang suci atau memiliki makna khusus kebahagiaan, keselamatan, kebaikan, kekuatan, dan “adi-kodrati”.
“Seiring berjalan waktu,data empiris yang saya temukan menunjukkan bahwa Tepung Tawar yang dahulu diyakini sebagai sesuatu yang suci dan adi-kodrati kini mengalami pergeseran makna namun masih tetap menjadi bagian penting dalam keberlangsungan tradisi budaya Melayu Langkat hingga saat ini,” katanya.
Dengan kata lain, tradisi Tepung Tawar bukan lagi semata dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan nilai religius ataupun perantara hubungan manusia dengan Sang Pencipta, seperti yang dimaksud para tetua atau leluhur, melainkan telah dipandang menjadi nilai warisan harta budaya yang berharga.
Kini tradisi Tepung Tawar dimaknai sebagai tradisi budaya Melayu lama atau budaya Melayu asli leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan sebagai simbol kejayaan warisan Melayu.
Sebab hal inilah yang mampu merepresentasikan eksistensi komunitas masyarakat Melayu dengan identitas Islam ke-Melayu-an mereka sampai kapan pun.
Bahkan lebih jauh, menjadi nilai kearifan lokal yang diteruskan secara historis dan turun-temurun kepada generasi berikutnya lewat simbol-simbol milik bersama dan seolah menjadi nilai komunal bagi masyarakat Melayu Langkat.
Hal ini mungkin yang dimaksudkan oleh Geertz terkait agama dan kebudayaan.
Geertz memiliki dasar pemikiran bahwa agama bukan sekadar sebuah ideologi hasil rekayasa dunia sosial belaka.
Inilah mengapa Geertz berpendapat, dalam menafsirkan agama dan kebudayaan dalam dinamika masyarakat perlu dilakukan pendeskripsian yang sifatnya mendalam atau thick description, sebab ada makna eksplisit dan implisit yang terkandung.
Secara eksplisit tradisi ini bisa dilihat sebagai pengejawantahan, mengenalkan, dan melestarikan keindahan budaya Melayu hingga anak-cucu yang menjadi nilai komunal, serta pengetahuan manusia yang berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan yang bersifat bumi.
Sedangkan secara implisit, tradisi tepung tawar ini dapat dikatakan sebuah prosesi budaya yang mengandung banyak nilai simbol atau sistem sosial yakni harmonisasi dan relasi.
Melalui prosesi Tepung Tawar, kita dapat mengetahui silsilah keluarga Ayah-Ibu (orang tua) mulai dari keluarga yang dipandang dituakan dan dihormati hingga sampai yang termuda, serta mengajarkan untuk tetap menjaga ukhwah Islamiyah dan tali silaturrahmi sesama saudara.
Bagi masyarakat Melayu Langkat, jelas tidak bisa disetarakan antara agama dengan budaya atau tradisi, keduanya memiliki posisi dan proporsi berbeda.
Menjunjung nilai Islam adalah kewajiban utama, lalu aplikasi nilai budaya atau tradisi adat Melayu harus jelas bernapaskan Islam.
Maka banyak budaya lokal, seperti pandangan hidup, adat-istiadat, kesenian, dan tentu saja Tepung Tawar tidak dihilangkan melainkan diberikan napas Islam.
Inilah mungkin yang melahirkan ungkapan di tengah masyarakat Melayu Agama Islam tetap utama, budaya Melayu harus kita jaga, agar tak kan hilang Melayu di Bumi.
Terlihat begitu pentingnya nilai Islam bagi masyarakat Melayu Langkat yakni sebagai bimbingan moral, harmoni, dan keseimbangan dalam menata kehidupan dan interaksi sosial dalam masyarakat walau di tengah kuatnya tekanan modernisasi globalisasi.
Seperti halnya pengaplikasian tradisi tepung tawar, aspek penekanan nilai Islam harus diutamakan agar tidak terjadi kesesatan atau syirik.
Dalam artian, tradisi tepung tawar harus diposisikan sebatas aktivitas kultural semata, untuk melestarikan tradisi budaya, membangun interaksi sosial antara masyarakat juga tanpa menyelipkan niat atau keyakinan khusus dalam prosesnya. (*)