Laporan wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Agenda transisi energi menjadi peluang besar bagi Indonesia.
Apalagi sumber daya alam dalam negeri banyak yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT).
Namun menurut Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha, realisasi dari transisi energi tersebut tidak bisa dilakukan oleh satu kementerian saja melainkan oleh semua pemangku kepentingan terkait.
Satya mengatakan infrastruktur energi tidak bisa dibebankan kepada Kementerian ESDM karena di dalamnya terdapat aspek Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan.
“Maka komitmen transisi energi tidak bisa dijalankan tanpa komitmen dari seluruh komponen bangsa. Mudah-mudahan target Net Zero Emission akan tercapai di 2060,” kata Satya saat acara diskusi Forum Transisi Energi, Jumat (23/12/2022).
Satya pun mengusulkan perlu dibentuk Dewan Energi Nasional yang terdiri dari beberapa kementerian dan pemangku kepentingan untuk agenda transisi energi.
Satya menyebutkan adanya DEN dapat mendorong pihak-pihak tersebut dalam menjaga ketahanan energi.
Selain membawa ketahanan energi, transisi energi juga sejalan dengan visi pemerintah dalam rangka mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Namun, dalam mewujudkan agenda transisi energi tidaklah mudah, butuh investasi besar, dan kerja sama kuat yang dilakukan oleh banyak pihak.
Baca juga: Gelar Rakernas, Ini Catatan Aspebindo untuk Sektor Energi di Indonesia
Hal serupa juga dilontarkan Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Shinta Damayanti.
Dirinya memandang bahwa kolaborasi sangat diperlukan untuk membangun sebuah ekosistem. Adapun dalam hal ini diperlukan regulasi dan sinergi dari berbagai pihak.
“Jadi, kolaborasi beberapa kementerian dan tentu dengan roadmap yang sudah ada dan kita bentuk bersama-sama dan bersinergi. Kita bisa melaksanakan dan mencapai target yang sudah dibuat,” kata Shinta.
Terkait transisi energi sendiri menurut Shinta, pihak SKK Migas akan terus mengupayakan agar pemanfaatan gas bumi di Indonesia dapat terserap secara optimal. Salah satunya melalui pembangunan infrastruktur yang masif.
Ia menjelaskan dalam transisi energi, gas bumi dipandang sebagai komoditas strategis yang dapat dikembangkan lebih jauh. Mengingat, RI menyimpan segudang kekayaan gas bumi yang cukup melimpah.
“Tentunya bisa segera dimonetisasi tapi kita tidak boleh lupa pada saat bicara gas kita harus bicara infrastruktur pemanfaatannya di industrinya karena gas itu memang harus kita tentukan siapa yang akan memakai," kata Shinta.
Sementara itu, Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan perubahan iklim yang terjadi saat ini bukanlah permasalahan Indonesia saja tetapi juga global.
Sehingga dibutuhkan sebuah kolaborasi tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dengan berbagai negara.
Indonesia sendiri ujarnya telah menunjukan keberhasilannya dalam presidensi G20 melakukan berbagai kolaborasi, baik terkait policy, teknologi, information, hingga Investment dalam skala global. Kolaborasi ersebut dibutuhkan, karena transisi energi menuju NZE 2060 tidak bisa dilakukan sendirian.
“Ini sebagai catatan saja, tidak mungkin kita mengatasi ini sendirian. Emisi gas rumah kaca di AS 15 ton perkapita per tahun, di Eropa 11-12 ton perkapita pertahun, dan di Australia sekitar 19 ton perkapita pertahun. Ini harus diatasi bersama-sama. Maka selama 6 bulan kita negosiasi dengan global sehingga kemarin dalam G20 kita tandatangani just energy transition program, dan berhasil dapat dukungan dana US$ 20 miliar,” jelas Darmawan.