Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan AKBP Bambang Kayun sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi.
Bambang Kayun diduga menerima gratifikasi hingga Rp50 miliar untuk mengurus perkara perebutan hak ahli waris PT ACM (Aria Citra Mulia).
Ketua KPK Firli Bahuri mengaku prihatin atas adanya kasus aparat penegak hukum yang semestinya menegakkan norma hukum, tapi justru terlibat praktik korup.
"KPK menyampaikan keprihatinan atas adanya aparat penegak hukum yang seharusnya mengemban amanah untuk menegakkan norma hukum yang berlaku, tetapi justru melakukan praktik korupsi dengan menerima suap dan gratifikasi dari pihak yang berperkara," kata Firli dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Baca juga: Lima Fakta Kasus Suap dan Gratifikasi AKBP Bambang Kayun, KPK Ungkap Soal Aliran Dana Rp 56 Miliar
Ia mengatakan kasus dari AKBP Bambang Kayun yang menjabat posisi di Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri jelas mencederai marwah hukum di Indonesia.
Firli pun menegaskan bahwa perkara Bambang Kayun akan terus ditelusuri dan dikembangkan. Ia juga menyatakan penanganan perkara korupsi aparat penegak hukum ini sebagai wujud komitmen pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
"KPK menyampaikan penanganan perkara ini menjadi wujud komitmen KPK dalam rangka pemberantasan korupsi," tutur Firli.
Sebagai informasi, KPK menduga AKBP Bambang Kayun menerima suap total Rp6 miliar dan mobil mewah berupa Toyota Fortuner, serta gratifikasi sejumlah Rp50 miliar.
Uang suap diterima beberapa tahap, yang pertama Bambang menerima uang Rp5 miliar pada Oktober 2016.
Toyota Fortuner kemudian diterima Bambang pada Desember 2016. Pada April 2021, Bambang kembali menerima Rp1 miliar.
Suap dan gratifikasi ini diberikan kepada Bambang Kayun agar yang bersangkutan dapat membantu pengurusan perkara perebutan hak ahli waris Aria Citra Mulia (ACM).
Atas perbuatannya, AKBP Bambang Kayun disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.