News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Opini

Omnibus Law Dicabut dan Kembali ke Pasal 33 UUD 1945, Masyarakat Niscaya Sejahtera

Editor: cecep burdansyah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tri Wibowo Santoso

Oleh: Tri Wibowo Santoso

Mantan Ketua Poros Wartawan Jakarta (PWJ)

Pendidikan dan kesehatan gratis di Indonesia sebenarnya suatu keniscayaan bila penguasa memiliki komitmen kuat dalam mengimplementasikan Pasal 33 ayat 3 dalam UUD 1945.

Isi yang termaktub dalam konstitusi tersebut sudah sangat jelas, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Alih-alih mensejahterakan masyarakat, pemerintah justru memperkaya para pengusaha tambang melalui UU Minerba yang terkandung dalam Omnibus Law.

Memang, para penggiat hak asasi manusi (HAM) dan demokrasi serta aktivis lingkungan hidup telah berjuang di tingkat MK untuk membatalkan UU Minerba. Sebab, banyak sekali pasal yang merugikan masyarakat dan isinya bertentangan dengan konstitusi.

Misalnya, Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, bahwa masyarakat yang mencoba mengganggu aktifitas pertambangan dalam bentuk apapun bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana dan denda hingga Rp 100 juta. Akibatnya, masyarakat yang dirugikan akibat lahannya yang dirampas semakin tidak berdaya.

Kemudian, Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa bebas memilih antara kegiatan reklamasi atau kegiatan pascatambang.

Tidak hanya itu. Perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan, sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebanyak 2 kali 10 tahun.

MK memang telah mengeluarkan keputusan atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Namun, hasilnya tetap mengecewakan.

Majelis hakim MK menolak tiga dari empat pokok permohonan Judicial Review UU Minerba, yaitu terkait (1) menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat; (2) potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba; dan (3) jaminan perpanjangan otomatis bagi pemegang KK dan PKP2B

Majelis hakim hanya mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dengan memberikan penafsiran 'sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku'.

Perppu Cipta Kerja Kado Akhir Tahun Terindah untuk Pengusaha Tambang

Tak cukup pada UU Minerba, Presiden Joko Widodo juga memberikan 'karpet merah' kepada pengusaha, terutama di sektor pertambangan melalui Perppu Cipta Kerja.

Meski MK pada Kamis (25/11/2021) telah memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, sehingga pemerintah harus memperbaikinya lagi selama dua tahun dan tidak mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Presiden Jokowi tetap nekat melanggar aturan itu dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja sehari menjelang penutupan tahun 2022. Salah satu yang dimuat dalam aturan itu adalah berkenaan dengan Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Aturan itu menyebut bahwa perusahaan pertambangan batu bara yang melakukan pengembangan dan atau pemanfaatan batu bara diberikan perlakuan tertentu, yakni bisa dapat pengenaan iuran produksi atau royalti 0 persen. Padahal selama ini royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.

Namun, Pasal 39 yang mengatur soal perubahan pada Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) malah disisipkan satu pasal, yakni Pasal 128 A yang berbunyi:

(1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.

(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Pengembangan dan/ atau Pemanfaatan Batubara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar 0%.

Kemudian ayat (3) menyebutkan: Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pengusaha Tambang Tajir, Rakyat Melintir

Karpet merah yang digelar pemerintah bagi pengusaha berupa regulasi yang bertabrakan dengan konstitusi membuat para juragan tambang semakin tajir. Di sisi lain, rakyat justru melintir dalam jurang kemiskinan.

Fakta teranyar berdasarkan laporan Majalah Forbes menyebut beberapa orang terkaya di Indonesia merupakan pengusaha yang menggeluti bisnis di sektor energi, terutama tambang batu bara.

Misalnya, Low Tuck Kwong yang merupakan founder dari Bayan Resources, perusahaan batu bara di Indonesia. Melalui bisnis pertambangan batu baranya, Low Tuck Kwong sempat menjadi orang terkaya ke-30 di Indonesia versi majalah Forbes.

Tahun 2022, posisinya naik drastis. Bahkan, lelaki kelahiran Singapura 74 tahun silam itu mampu menduduki posisi ke 2 sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan hampir berlipat ganda menjadi US$12,1 atau sekitar Rp 186,5 triliun (kurs 15.500/US$). Sementara tahun lalu, harta Low Tuck Kwong US$ 2,55 miliar atau Rp 39,5 triliun yang menempatkan dirinya di posisi 18. Artinya dalam setahun kekayaannya meroket hingga Rp 148 triliun.

Kemudian, Garibaldi Thohir dan keluarga dengan kekayaan bersih senilai USD 3,45 miliar (Rp53,6 triliun). Kakak kandung dari Menteri BUMN, Erick Thohir itu dikenal sebagai CEO dan pemegang saham penting Adaro Energy, salah satu eksportir batu bara terbesar dunia.

Lalu ada Dewi Kam yang menduduki peringkat 21 dengan kekayaan USD 2 miliar (Rp31,1 triliun). Perempuan 72 tahun itu mendapatkan sebagian besar kekayaannya dari saham minoritas di perusahaan tambang batu bara Bayan Resources.

Selanjutnya, Kiki Barki alias Ji Qihui dengan kekayaan sebesar USD 1,3 miliar (Rp20,2 triliun). Bekas Bos Sekretaris Kabinet, Pramono Anung ini memiliki tambang batu bara swasta bernama Tanito Harum. Dia dan keluarganya juga memiliki saham di Nickel Mines yang terdaftar di Australia, yang memiliki satu tambang nikel dan dua pabrik nickel pig iron di Indonesia.

Ghan Djoe Hiang, istri dari mendiang Athanasius Tossin Suharya, pendiri grup Baramulti yang bergerak di bidang pertambangan dan perdagangan batu bara berada di urutan 41 orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya mencapai USD 1,07 miliar.

Sementara di sisi lain, pemerintah justru menekan masyarakat miskin dari berbagai aturan. Misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak jenis pertalite. Alasan pemerintah kala itu adalah agar subsidi tepat sasaran, mengingat pengguna pertalite kebanyakan masyarakat yang memiliki mobil alias orang kaya. Kalau begitu pengemudi ojek online, supir angkutan kota, dan kurir jasa pengantaran barang bisa dibilang orang tajir dong, mengingat bahan bakar yang digunakan untuk kendaraannya adalah pertalite?

Tapi, di sisi lain pemerintah justru menyiapkan anggaran untuk subsidi orang kaya yang hendak beli mobil listrik. Tak tanggung-tanggung, nilainya sampai puluhan juta loh untuk 1 unit kendaraan.

Kebijakan pemerintah lainnya yang memaksa rakyat kecil untuk menambal anggaran pemerintah yang bolong adalah pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi barang kebutuhan pokok alias sembako. Aturan itu mengisyaratkan ketidakadilan. Bahkan, aturan pajak berpotensi memperlebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Aturan pemerintah lainnya yang merugikan rakyat kecil adalah pelarangan penjualan rokok ketengan. Kenapa merugikan? Karena selama ini sumber penghasilan dari penjualan usaha yang dikelola masyarakat kecil adalah menjual rokok batangan alias ketengan.

Belajar dari Uni Emirat Arab

Meski Indonesia memiliki banyak resources ketimbang Uni Emirat Arab (UEA), faktanya negara timur tengah itu memiliki PDB jauh lebih besar ketimbang kita, yakni, 74.245 dolar AS per kapita.

Ternyata, kuncinya adalah negara tak boleh kalah dengan pemilik modal, dan keberpihakannya pada rakyat sangat utama. Kapasitas para investor di UEA hanyalah sebagai kontraktor, keuntungan dari setiap proyek sebagian besar masuk ke negara untuk mensejahterakan masyarakatnya. Kurang lebih sama lah dengan makna pasal 33 di dalam UUD 1945.

Alhasil, Uni Emirat Arab mampu memberikan banyak fasilitas dan kemudahan bagi warga negaranya. Misalnya, pemberian tanah gratis bagi warga negaranya hingga penyediaan pemakaman gratis bagi yang meninggal dunia.

Kesehatan setiap warga negara Uni Emirat Arab juga sangat dijamin. Untuk berobat jalan hingga perawatan di rumah sakit dijamin gratis oleh pemerintah.

Bahkan, pemerintah UEA memberikan dana dua puluh ribu dolar untuk mereka yang melangsungkan pernikahan.

Tak hanya itu. Jika ada warga negaranya yang tak memiliki dana untuk membangun rumah, pemerintah akan memberikan dana pinjaman tanpa bunga untuk membangunnya.

Dalam hal pendidikan juga UEA adalah negara terbaik di dunia. Pasalnya seluruh tingkat pendidikan warga negaranya digratiskan oleh negara. Pemerintah juga membiayai untuk mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

Bayangkan jika pemerintah Indonesia konsisten menjalankan UUD 1945 Pasal 33, tentunya seluruh masyarakat akan mendapatkan hidup yang layak. Bagaimana tidak? Lah wong, seorang Low Tuck Kwong saja kekayaannya bisa melejit hingga Rp 148 Triliun, coba kalau seluruh pengusaha tambang diakumulasi pendapatannnya secara keseluruhan, tentunya rakyat Indonesia tak ada lagi yang miskin seperti di UEA.*

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini