Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mendalami ihwal dugaan penggunaan dana otonomi khusus (otsus) Papua oleh tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi Lukas Enembe.
"Terkait dengan hal itu kami pastikan KPK tidak juga berhenti pada informasi yang terkait dengan dugaan suap dan gratifikasi terkait infrastruktur ketika dia menjabat sebagai gubernur, kami pastikan juga terus kembangkan informasi dan data lainnya," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (16/1/2023).
Dikatakan Ali, tim penyidik juga akan mengkaji penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Gubernur nonaktif Papua itu.
"Kemungkinan-kemungkinan penerapan Pasal-pasal lain, apakah Pasal-pasal yang berhubungan dengan Pasal 2 atau Pasal 3 ataupun Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang terus kami kembangkan," katanya.
Baca juga: KPK Telusuri Aliran Uang Lukas Enembe ke Pengusaha Mobil Mewah
Ali menerangkan bahwa pendalaman terhadap hal tersebut akan mulai dilakukan tim penyidik saat memeriksa Lukas pada pekan ini.
"Ke depan juga masih terus kemudian kami lanjutkan, mengumpulkan dan melengkapi alat bukti untuk terus mengembangkan fakta-fakta yang sebelumnya kami peroleh," terangnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyebut pengusutan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe dimulai dari laporan masyarakat.
Mereka mengeluhkan kesejahteraan di Bumi Cenderawasih kecil padahal otsus dari pemerintah pusat besar.
Baca juga: Dijenguk di Rutan KPK, Lukas Enembe Minta Dibawakan Popok hingga Ubi Cilembu
"Kita sudah sering mendengar bahwa masyarakat Papua mengeluhkan bagaimana anggaran dana otonomi khusus yang begitu besar tapi efek kesejahteraan nya sangat kecil bagi rakyat Papua secara umum," kata Firli dalam keterangan tertulis, Senin (16/1/2023).
KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat itu.
Berdasarkan infromasi yang dihimpun, banyak pejabat di Papua menggunakan dana dari pemerintah pusat untuk berpesta pora.
Parahnya lagi, para pejabat dan elit di Papua memainkan isu untuk membenarkan pencurian unag negara itu.
Bahkan, kata Firli, mereka membawa nama rakyat untuk melancarkan permainan kotornya.
Baca juga: OPM Minta Lukas Enembe Dibebaskan, Mahfud: Ini soal Korupsi Tak Ada Hubungan dengan Separatisme
"Agar seolah-olah perampokan dan korupsi yang mereka lakukan itu adalah untuk rakyat dan atas nama rakyat," ujar Firli.
Masyarakat diminta tidak terpengaruh dengan bujuk rayu para pejabat kotor di sana.
Karena, mereka cuma memanfaatkan suara masyarakat untuk bebas dari jeratan hukum.
Firli juga menegaskan pihaknya bisa membuktikan bahwa dana dari pemerintah pusat telah dicuri oleh pejabat di Papua.
Buktinya, tidak ada pembangunan yang tercipta padahal sudah disuntik dengan duit yang banyak.
"Faktanya, tidak ada pembangunan apalagi keadilan sosial yang tercipta dalam koalisi korupsi tersebut, kecuali kemiskinan dan kesengsaraan; kitapun menjadi ingat kata-kata pope francis mengatakan; 'korupsi dibayar oleh kemiskinan'," kata Firli.
Lukas Enembe diduga menerima suap Rp1 miliar dari Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka terkait proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Rijatono juga sudah ditahan KPK.
Lukas juga disinyalir menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan sebesar Rp10 miliar.
Namun, KPK belum mengungkap pihak-pihak pemberi gratifikasi tersebut.
Dalam proses penyidikan berjalan, KPK telah memeriksa 76 saksi dan melakukan penggeledahan di enam lokasi yang tersebar di Papua, Jakarta, Sukabumi, Bogor, Tangerang dan Batam.
Lebih lanjut, KPK juga telah memblokir rekening dengan nilai sekitar Rp76,2 miliar.
Diduga rekening itu milik Lukas dan istrinya yang bernama Yulce Wenda.
Lukas resmi ditahan KPK terhitung mulai hari ini hingga 30 Januari 2023 di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK pada Pomdam Jaya Guntur.
Lukas Enembe disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).