TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menanggapi dugaan adanya 'gerakan bawah tanah' yang dilakukan sejumlah pihak untuk meringankan vonis Ferdy Sambo.
Ia menyoroti pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut adanya sosok Jenderal Bintang satu yang mencoba mempengaruhi vonis hukuman terhadap eks Kadiv Propam Polri itu.
Dari pernyataan yang disampaikan Mahfud MD, ada pihak yang menghendaki Ferdy Sambo divonis dengan hukuman 'huruf' yakni pidana seumur hidup atau mati, dan ada pula yang meminta dihukum dengan pidana angka yakni di bawah 20 tahun penjara.
Namun Sugeng Teguh Santoso menekankan bahwa tidak mungkin meminta Ferdy Sambo dibebaskan karena itu merupakan kewenangan Kejaksaan.
"Konteks Pak Mahfud terkait gerilya 'adanya bintang satu' yang ingin meminta putusan, saya tidak tahu apakah putusannya angka ataupun huruf. Tapi kan ada Pak Mahfud menyatakan (pihak tersebut) meminta dalam konteks wilayah kewenangan kejaksaan untuk meminta bebas, itu tidak mungkin ya," kata Sugeng, dalam tayangan Kompas TV, Senin (23/1/2023).
Baca juga: Mengulik Lagi Strategi dan Perlawanan Ferdy Sambo untuk Ringankan Hukumannya
Dalam persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J pun, fakta persidangan menunjukkan Ferdy Sambo terbukti menjadi aktor intelektual dalam kasus ini.
"Tidak mungkin memutus Sambo bebas, karena faktanya dia terbukti," jelas Sugeng.
Sugeng menilai bahwa yang dapat dilakukan saat ini oleh mereka yang memiliki kepentingan terhadap Ferdy Sambo ini adalah berupaya untuk meminta agar putusan atau vonis hakim mengarah pada pidana ringan.
"Tetapi yang bisa dilakukan, kalau ini dari pihak tertentu, baik di jaringannya Sambo maupun orang-orang di luar jaringannya Sambo, meminta putusan yang mengarah kepada keringanan Sambo," papar Sugeng.
Menurutnya, upaya tersebut telah terlihatt saat penetapan status tersangka terhadap Ferdy Sambo.
Sugeng mengaku pihaknya memperoleh informasi bahwa saat itu, Ferdy Sambo telah menyiapkan sejumlah langkah awal.
Pengetahuannya tentang ranah ini bukan tanpa alasan, kata dia, Ferdy Sambo merupakan orang yang telah memiliki banyak pengalaman mengenai hal ini.
"Nah itu sudah terbukti, ketika Sambo ditetapkan sebagai tersangka, Indonesia Police Watch itu mendapat informasi ya, Sambo sudah menyiapkan setiap langkah atau memang dia adalah seorang ahli reserse yang berpengalaman," tutur Sugeng.
Mulai dari menyiapkan pengacara untuk orang-orang di sekitarnya yang turut menjadi tersangka, termasuk ajudannya yakni Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang kni berstatus pula sebagai Justice Collaborator.
Hingga melakukan lobi terkait pemberian uang dan politik demi melancarkan tujuannya bebas dari jeratan hukum.
"Dari menyiapkan pengacara untuk semua orang yang tersangka, termasuk Eliezer (saat itu), melakukan lobi-lobi yang mengarah kepada pemberian sejumlah uang, melobi politik, bahkan melakukan perlawanan-perlawanan dalam tanda kutip, kami mendapatkan informasi itu," kata Sugeng.
Sugeng menambahkan bahwa apa yang diduga saat ini terkait adanya gerilya gerakan bawah tanah untuk meringankan vonis Ferdy Sambo, merupakan bagian dari perjuangan sejak awal.
"Nah, konteks sekarang itu sebetulnya bagian dari perjuangan yang akan dilakukan oleh Ferdy Sambo dari awal, ya itu bukan sesuatu yang baru," jelas Sugeng.
Oleh karena itu, informasi yang disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD terkait adanya gerakan ini, menurutnya karena gerakan ini kini semakin massive dilakukan lantaran telah memasuki tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Saat ini, kata dia, yang membuat publik penasaran adalah siapa sebenarnya pihak yang memiliki kepentingan terhadap vonis Ferdy Sambo.
"Kalau Pak Mahfud kemudian mendapatkan informasi, mungkin ini pergerakannya lebih intensif ketika mendekati tuntutan. Kita mau melihat, siapa sebetulnya yang berkepentingan," pungkas Sugeng.
Perlu diketahui, dalam sidang tuntutan yang digelar pada 17 Januari lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman pidana penjara seumur hidup.
Lalu untuk tuntutan yang diajukan JPU terhadap sang istri yakni Putri Candrawathi pada 18 Januari lalu adalah pidana 8 tahun penjara.
Sedangkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang juga berstatus sebagai Justice Collaborator, pada hari yang sama JPU mengajukan tuntutan hukuman pidana 12 tahun penjara.
Baca juga: Jadwal Sidang Ferdy Sambo dkk Pekan Depan: Pleidoi dan Tuntutan Obstruction of Justice
Sementara pada 16 Januari lalu, Ricky Rizal dan Kuat Maruf dituntut dengan tuntutan pidana 8 tahun penjara.
Sebelumnya, sidang perdana kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J juga telah digelar pada Senin (17/10/2022), yang mengagendakan pembacaan dakwaan untuk tersangka Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, serta ajudan mereka Ricky Rizal dan Asisten Rumah Tangga (ART) Kuat Maruf.
Kemudian pada Selasa (18/10/2022), terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu menjalani sidang perdananya sebagai Justice Collaborator dengan agenda pembacaan dakwaan.
Dalam berkas dakwaan tersebut, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, Kuat Maruf dan Richard Eliezer Pudihang Lumiu disangkakan melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 ke-1 KUHP.
Sedangkan untuk kasus Obstruction of Justice, Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Baiquni Wibowo, Arif Rahman, Chuck Putranto dan Irfan Widyanto dijerat Pasal 49 Jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 Ayat 1 Jo Pasal 32 Ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE.
Mereka juga disangkakan melanggar Pasal 55 Ayat (1) dan/atau Pasal 221 Ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233 KUHP.