News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Perkawinan

MUI Apresiasi MK Tolak Sahkan Pernikahan Beda Agama: MK Tetap Menjadi Guardian of Constitution

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan HAM, Ihsan Abdullah saat ditemui selepas menghadiri sidang putusan Mahkamah Konstitusi terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan, Selasa (31/1/2023).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak secara keseluruhan uji materi mengenai pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan HAM, Ihsan Abdullah menyampaikan sikap MUI terkait keputusan tersebut.

MUI, kata dia, berterima kasih atas putusan MK menolak uji materi terkait UU Perkawinan ini.

Menurutnya, dengan keputusan ini, maka MK tetap menjadi penjaga konstitusi nasional seutuhnya.

“Sikap kami dari MUI, yang pertama adalah menyanpaikan terima kasih tentu kepada Mahkamah Konstitusi yang pada hari ini tetap menjadi the guardian of constitution, atau penjaga konstitusi,” kata Ihsan Abdullah selepas sidang Putusan di MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).

Khatib Surya PBNU ini menambahkan keputusan MK ini sekaligus menunjukkan bahwa MK merupakan penafsir tunggal dari Undang-Undang.

MUI, lanjut dia, memberi perhatian khusus terkait uji materi UU Perkawinan yang pada hari ini diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dengan ditolaknya uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), maka hal ini sekaligus memperkuat kedudukan aturan tersebut.

“Dan untuk itu kami menghaturkan terima kasih pada MK sekaligus kepada umat Islam, tentu ini pesannya bahwa kalau menikah ya harus sesuai dengan ketentuan UU yaitu UU No. 1 tahun 1974,” ucap Ihsan.

Lebih jauh Staf Wakil Presiden ini mengatakan bahwa dalam prosesnya, keputusan ini telah melalui permintaan keterangan dan kesaksian dari perwakilan keagamaan di Indonesia.

Di antaranya ialah agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha hingga Konghucu.

Kesaksian itu nenyebutkan bahwa sejatinya memang pernikahan merupakan otoritas dari lembaga keagamaan.

Sehingga, Ihsan menilai keputusan Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terkait UU Perkawinan sudah tepat.

“Sangat tepat dan itu sesuai dengan MK sebagai penjaga konstitusi,” tuturnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sebelumnya memutuskan menolak secara keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.

“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengnadili menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman diiringi ketukan palu mengesahkan.

Ia mengatakan bahwa Mahkamah telah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang diajukan oleh pemohon, sehingga MK dapat mengadili permohonan ini.

Baca juga: Judicial Review Pengesahan Pernikahan Beda Agama dalam UU Perkawinan Mendapat Penolakan Warga

Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Namun pada penilaian ketiga, pokok permohonan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum.

Adapun dalam putusan ini terdapat dua Hakim MK yang memiliki pandangan berbeda terkait Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic PF. 

Untuk diketahui, perkara ini mulanya dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan penganut agama Katolik yang tak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.

E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya lantaran beragama Islam. 

Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.

Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974 memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan.

Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.

"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke MK, dikutip Kompas.com, Selasa (8/2/2022).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini