News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sawit Watch Menilai Pemerintah Lamban Menangani Kasus Hilangnya 8.610 Ha Hutan Negara di Kotabaru

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sawit Watch melaporkan dugaan penyerobotan hutan negara di Kotabaru, Kalimantan Selatan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Kamis (1/9/2022). Sawit Watch menilai pemerintah lamban dalam menangani kasus hilangnya 8.610 hektare hutan negara di Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.

Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sawit Watch menyoroti penanganan perkara hilangnya hutan negara seluas 8.610 di Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang dilakukan lima instansi pemerintahan.

Diketahui, lima instansi yang telah disambangi Sawit Watch untuk melaporkan kasus ini, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian Lingkungah Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian ATR/BPN.

Adapun dalam pelaporan ini, Sawit Watch didampingi Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity).

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, negara dalam hal ini kelima instansi tersebut, harus menangani permasalahan hilangnya hutan negara ini secara serius.

Baca juga: Distamhut DKI Harap Penghijauan Hutan Kota Pulo Gebang Berdampak Positif ke Masyarakat Setempat

"Fakta hukum maupun fakta lapangan sudah sangat jelas, bahkan sebelumnya ada pendapat dari KLHK bahwa kerja sama PT Inhutani II dengan PT MSAM yang berada pada areal kerja IUPHHK-HA PT Inhutani di Areal Penggunaan Lain ini tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," kata Rambo, dalam keterangan pers tertulis, Selasa (31/1/2023).

Meski dimikian, Rambo menyebut, laporan-laporan kasus ini tidak kunjung ditangani oleh kelima instansi negara itu.

Terkait hal itu, Rambo menduga, ada kekuatan besar di balik kasus ini. Sehingga negara tidak mampu melakukan penegakan hukum.

"Jangan sampai ada dugaan yang aneh-aneh dari publik. Apa ada sesuatu kekuatan besar di balik ini sehingga negara tidak mampu melakukan penegakan hukum?" tegas Rambo.

Denny Indrayana menjelaskan, laporan ini sudah satu tahun disampaikan. Namun penanganannya terkesan stagnan dan terhambat.

"Sehingga, wajar bila muncul asumsi bahwa aparat penegak hukum 'ogah-ogahan' menangani laporan," katanya.

Menurutnya, penting bagi masyarakat sipil untuk terus memperjuangkan amanah Pasal 33 UUD 1945, di mana sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Denny menyebut, kekuatan oligarki seringkali menanamkan saham untuk dua kepentingan, yakni dividen politik dan tameng kasus hukum.

"Akibatnya, kebijakan pengelolaan sumber daya alam hanya memikirkan profit untuk kelompok privat, jauh dari kepentingan publik. Ini yang harus terus kita lawan dan perjuangkan dengan konsisten," kata Guru Besar Hukum Tata Negara itu.

Baca juga: 8.610 Hektare Hutan Negara di Kotabaru Kalsel Diduga Diserobot Jadi Kebun Sawit

Sebelumnya, Sawit Watch kembali melaporkan dugaan penyerobotan hutan negara yang terjadi di Kotabaru, Kalimantan Selatan, ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Kamis (1/9/2022).

Sawith Watch menduga hutan seluas 8.610 hektare di Kotabaru terjarah atas operasi perkebunan sawit, tanpa didahului persetujuan pelepasan kawasan hutan.

Dalam pelaporan ini, Sawit Watch didampingi Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity).

"Bagaimana bisa suatu korporasi berkebun di wilayah hutan dengan luasan ribuan hektar selama bertahun-tahun tanpa persetujuan KLHK," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo kepada wartawan, Kamis.

Menurut Surambo, Menteri LHK sepatutnya menanggapi temuan ini mengingat yang hilang adalah aset negara.

"Menteri patut menanggapi serius fenomena ini, hilangnya aset negara (hutan). Negara tidak boleh kecolongan terus dalam pengawasan pengelolaan SDA," ujar dia.

Denny Indrayana mengatakan, perusahaan dimaksud, melanggar sejumlah ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Di antaranya Pasal 19 huruf a, b, c, d, e, dan h jo. Pasal 21.

Masyarakat adat Danau Toba menggelar aksi di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK), Jakarta, Senin (12/8/2019). Mereka mendesak pemerintah mengembalikan wilayah adat mereka dari klaim hutan negara dan pencabutan konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari. (TRIBUNNEWS/CHAERUL UMAM)

Keseluruhan pasal tersebut berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

"Dugaan tindak pidana korupsinya ada karena hilangnya hutan negara berdampak pada kerugian keuangan negara," terang Denny.

Ia berharap pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menunjukkan kemauan politik untuk membersihkan praktik mafia tanah di Kotabaru, Kalsel.

"Kami tetap berharap adanya political will aparat penegak hukum dan kementerian terkait untuk membongkar dan membersihkan praktik mafia atas pelanggaran pengelolaan hutan yang diuraikan dengan rinci dalam laporan ini,” pungkasnya.

Sebelumnya, dugaan mafia tanah melalui penerbitan HGU di dalam kawasan hutan Kotabaru, Kalimantan Selatan ini dilaporkan oleh Sawit Watch ke Kementerian ATR/BPN pada Rabu (3/8/2022) lalu.

Temuan dugaan mafia tanah ini juga sebelumnya telah dilaporkan ke KPK, Kejaksaan dan Bareskrim Polri.

Sawit Watch menduga penerbitan HGU kepada salah satu perusahaan diperoleh tanpa adanya persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Perolehan HGU yang diterbitkan pada September 2018 silam itu dipandang problematik karena menyebabkan sekitar 8.610 hektare hutan negara hilang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini